Dalam sepuluh tahun terakhir, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melaju dengan sangat pesat. Terkhusus, atau bahkan hampir seluruh pengetahuan dan penelitian dicurahkan pada bidang medis. Orang-orang yang memiliki penyakit menahun, orang-orang yang terserang virus mematikan, orang-orang yang berputus asa dengan vonis sisa hidupnya, seperti kembali mendapat kesempatan kedua untuk menjalani kehidupannya. Tahun 2026, para ilmuwan telah menemukan suatu alat yang bisa menghancurkan segala penyakit berbahaya maupun kronis pada manusia – entah itu kanker, jantung, tumor, atau yang lainnya. Tidak perlu lagi vaksin, serum, obat-obatan, operasi pembedahan, kemoterapi, dan pengobatan lainnya. Akan tetapi, tidak serta-merta musnah begitu saja. Penyakit-penyakit tersebut dikonversikan ke dalam angka sisa kehidupan manusia. Atau disebut dengan Life Point.
Sebuah benda berbahan logam nanokomposit yang memancarkan gelombang radio aktif dipasangkan pada leher para penderita penyakit mematikan. Gelombang radio yang dipancarkan ke dalam tubuh pemakainya ini akan meningkatkan kekebalan tubuh sampai pada titik tertingginya. Sehingga mampu mencegah semakin parahnya penyakit pada tubuh. Sekaligus mampu melumpuhkan aktivitas virus dan bakteri penyebab penyakit atau membekukan bahaya dari kanker, tumor dan segala penyakit mematikan yang ada di dalam tubuh sesuai dengan tipe gelombang yang dipancarkan. Benda ini berbentuk lingkaran/kalung yang disematkan pada leher. Tebalnya tak lebih dari satu sentimeter, lebar permukaannya dua sentimeter. Di bagian depan permukaannya terdapat layar yang menunjukkan digit angka sisa kehidupan manusia. Ada yang menunjukkan sisa hari, sisa jam, atau sisa menit. Kalung ini kuat, tahan air, dan tahan dalam berbagai keadaan. Namun jangan lupa memeriksakan kinerja alat ini secara rutin untuk mendeteksi gangguan sebelum benda ini mengalami kerusakan. Karena jika sampai rusak, radio aktif yang dipancarkan akan berhenti dan akan langsung menghilangkan nyawa pemakainya.
Radio aktif yang dipancarkan alat ini bersumber dari campuran unsur-unsur kimia yang diteliti dan dikembangkan para ilmuwan yang dikenal sebagai Dier – Disease Paralyzer (Pelumpuh Penyakit). Dan orang-orang biasa menyebut kalung ini dengan Kaldier.
Minggu, 11 Maret 2046. Aku, Eldan Wihami genap berusia sembilan belas tahun. Itu artinya sudah selama sebelas tahun kaldier ini tersemat di leherku. Keluargaku saat ini hanyalah ibu. Kalau ayah, otakku sudah menguburnya dalam-dalam di bagian ingatan yang paling dasar. Karena semasa muda, ibu bekerja sebagai seorang pelacur di ibukota. Beliau memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya itu setelah ia tahu positif terjangkit virus HIV/AIDS dan pindah ke kota yang saat ini kami tempati, yaitu Kisaran. Pada saat yang tidak berjauhan pula, ia sedang mengandungku. Beruntungnya pada saat-saat itu Dier telah berhasil diciptakan. Mengingat banyaknya penderita penyakit mematikan pada saat itu, para penemu menjualnya dengan harga yang cukup terjangkau demi kepentingan hidup manusia. Ibuku adalah salah satu pembelinya. Dan dengan sisa tabungannya, ia beralih profesi sebagai pedagang kecil demi membiayai kehidupan kami berdua.
Berdasarkan ilmu medis, virus HIV membutuhkan waktu untuk berkembang menjadi AIDS dalam kurun waktu sembilan sampai sepuluh tahun. Oleh karena itu, ibu memasangkanku kaldier saat usiaku genap delapan tahun. Begitu kaldier terpasang, muncullah angka sebesar 1876 pada layar angka digital yang terdapat pada bagian depan kalung ini. Awalnya aku tak mengerti dengan tampilan angka yang berada pada kaldier ini. Yang jelas, ibu selalu mengatakan bahwa bila aku banyak membantu dan menolong orang yang butuh bantuan, angka pada kaldier ini akan bertambah, dan ibu akan memberikan hadiah padaku saat angka-angka tersebut mencapai target yang ditetapkannya. Tetapi beliau juga selalu mengingatkan untuk tak perlu takut bila angka itu akan berkurang satu setiap harinya.
“Bu, makanan sudah kusiapkan. Jangan terlalu lama menutup toko kalau masih ingin makanannya tetap hangat. Aku tak mau memanaskannya kembali!” seruku dengan sedikit gurauan mengancam dari balik pintu belakang toko.
“Iya, iya .... Pak berasnya mau dikirim di hari apa ya? Dan mau kirim lewat-,” sahutnya sambil melanjutkan bisnis kecilnya. Aku tersenyum meninggalkan.
Saat kecil, aku tumbuh tanpa hal yang luar biasa. Bagiku, perintah ibu yang kerap sekali menyuruhku untuk menolong orang lain bukanlah sebuah beban, melainkan arahan dalam hidup. Teman-teman SD-ku selalu kuberi penjelasan yang sesuai dengan penjelasan ibuku saat mereka menanyakan perihal kalung yang kugunakan. Karena tak satu pun dari mereka yang memakai benda yang sama. Hingga waktu menuntunku untuk menerima suatu kenyataan. Hal itu terjadi saat aku baru saja memasuki bangku sekolah menengah pertama. Beberapa anak yang seharusnya menjadi teman baruku bercakap-cakap perihal rahasia di balik penggunaan kaldier. Angka-angka yang tertera pada layar kaldier adalah Life Point. Angka yang menunjukkan sisa hidupku. Angka 1876 pada saat pertama kali kumengenakannya adalah sisa waktuku selama 1876 hari. Berita ini berhasil merobohkan tiang-tiang penyangga yang mengokohkan batinku. Aku segera menghampiri ibu untuk menanyakan seputar yang dikatakan oleh teman baruku. Dengan raut wajah murung dan berat hati, ia menyampaikan kebenarannya. Aku dan ibu mengidap penyakit yang sama.
Selama lima tahun saat itu, aku memakai sesuatu yang tak pernah kuketahui fungsi sebenarnya. Selama itu pula banyak orang dewasa di sekitarku yang sering meminta pertolonganku dan ibu. Terlebih aku. Mulai saat itu aku hanya bisa menyimpulkan bahwa paling-paling mereka hanya kasihan pada seorang anak yang sudah menggantungkan kehidupannya pada sebuah alat buatan tangan manusia.
Fungsi kerja kaldier dijelaskan secara rinci oleh ibuku. Bahwa, tiap kali kita selesai membantu orang lain, sensor pada kalung dier ini akan memindai gelombang emosi kepuasan seseorang yang telah dibantu. Apakah ia merasa senang, cukup senang, atau senang sekali mendapat pertolongan dari kami. Gelombang yang dipindai itu akan dikonversikan menjadi angka-angka tertentu sesuai kepuasannya, kemudian dijumlahkan dengan Life Point yang ada. Semakin senang seseorang merasa terbantu, semakin besar pula angka yang kami dapatkan. Bila kami menolong seseorang pengguna kaldier atau penderita penyakit mematikan yang sama seperti kami, Life Point kami takkan bertambah. Juga, sensor pemindai tak bekerja pada keluarga kita. Karena pada saat membelinya, perlu mendaftarkan status keanggotaan keluarga seperti ayah, ibu, dan saudara kandung. Data seperti keluarga dan pemakai kaldier lainnya akan tercatat dan tersimpan pada data kaldier pusat. Pendeknya, sensor pemindai ini hanya bekerja pada orang-orang yang tidak memakai kaldier dan bukan dari anggota keluarga pemakai. Sedikit seperti menantang. Tetapi hanya dengan cara ini kami memperpanjang usia.
Senin, 12 Maret 2046. Masih sibuk dengan kegiatan di kampus siang ini. Aku hendak melangkah masuk ke kelas berikutnya sebelum langkahku dihambat oleh suara seseorang.
“Selamat ulang tahun, Eldan,” ucap seorang wanita berambut ikal sebahu berkulit putih bernama Yuva. Tangannya meraih sebelah tanganku dan mengikatkan sebuah gelang berwarna hitam di pergelangan tanganku. “Ini hadiah dariku. Maaf semalam aku sangat sibuk jadi tak bisa menemuimu.”
“Terima kasih, Yuva,” balasku seraya mengulas senyum. Senyum geli. Karena gelang yang diberikannya adalah gelang dengan motif karakter kucing hitam yang disukainya.
“Nggak perlu sungkan. Soalnya saat ulang tahunku nanti, kau harus membelikanku bantal guling berbentuk Hitameong. Harganya agak mahal sih. Menabunglah! Semangat!” balasnya dengan benar-benar tidak sungkan. Ternyata itu tujuan sebenarnya. Meski air mata ingin keluar saat mengingat harga bantal guling yang pernah ditunjukkannya itu.