18 Maret 2046, Minggu pukul sepuluh pagi, kursi-kursi yang berada di taman kota penuh dengan para manusia dewasa. Mata-mata mereka mengawasi benih-benih lincah yang akan meneruskan garis hidup mereka. Di tengah taman terdapat air mancur yang dikelilingi oleh beberapa pasang muda-mudi yang sedang berkencan. Anak-anak kecil berlarian saling mengejar melewatiku. Juga beberapa pasang mata yang melihatku sekilas lantas segera pergi menjauh.
Menurut orang-orang tua dulu, dibandingkan dengan dua puluh tahun silam, kota Kisaran sudah mengalami perkembangan. Luasnya sekarang hampir mengimbangi kota Medan. Bangunan-bangunannya yang semakin megah dan akses lalu lintasnya juga lebih rapi. Ditambah dengan Universitas Asahan – kampusku dan Yuva – yang sudah berdiri hingga puluhan tahun kini sudah berstatus negeri dengan jurusan yang semakin beraneka ragam.
Waktu pun melompat hingga setengah jam. Rencananya hari ini aku akan berkencan dengan Yuva. Ya, aku sedang menunggu kedatangannya.
“Terima kasih, Kak,” ujar seorang gadis kecil yang kubelikan es krim di taman itu. Ia menangis saat es krimnya terjatuh dari tangannya. Dengan tulus aku membelikannya lagi. Sensor pada kaldier-ku langsung memindai kepuasan hatinya dan mengonversikannya dalam angka Life Point. Aku mendapat tambahan tiga poin hari.
Ada sebuah kursi kosong di bawah sebuah pohon berdahan rindang. Aku ditarik untuk duduk di atasnya. Sesekali arloji di tangan kiriku kulihat. Jarum detik bergerak seperti memanggul beban yang berat. Mungkin ini pengaruh menunggu seseorang. Lalu sambil memerhatikan daun-daun hijau yang lebat, aku berdendang pelan.
“Telingaku langsung bisa mencium suaramu yang bau itu.”
Aku sedikit terkekeh. “Memangnya suaraku sebegitu baunya? Telingamu itu seperti hidung anjing saja,” balasku.
“Sudah lama menunggu?”
“Cukup untuk pergi umroh dan jalan-jalan ke Eropa.”
Lantas dua jari Yuva yang membentuk seperti capit kepiting itu menghujam tubuhku. Aku segera mengajaknya berkeliling. Kencan kami tidak seperti kencan sepasang kekasih yang duduk santai dalam sebuah kafe romantis sambil bersenda gurau. Dengan modal berjalan kaki, kami berkeliling untuk mencari orang-orang yang butuh bantuan.
“Lihat kakak yang memakai kalung itu. Mereka itu orang penyakitan yang suka mengerjakan apapun seperti pembantu,” teriak seorang anak kecil yang kebetulan melintas di hadapan kami. Di dekatnya ada pula anak yang lain.
“Eeeh ... aku juga dengar kalau di antara mereka ada yang punya penyakit menular,” tanggap temannya.
“Sungguh?” timpal teman satunya lagi. “Kalau begitu kita jangan dekat-dekat dengan mereka. Nanti kita tertular.”
Anak-anak kecil itu kemudian berlalu dengan meninggalkan juluran lidahnya ke arahku dan Yuva. Tanpa sadar sebelah tanganku langsung menyentuh kalung yang kukenakan. Hal yang seperti ini terkadang memang sering terjadi. Demi memproteksi anak-anaknya dari infeksi penyakit menular, para orang tua biasanya melarang mereka untuk mendekati orang-orang berkalung kaldier. Kaldier memang bisa melumpuhkan kinerja virus penyakit dalam tubuh. Tetapi bukan berarti membunuhnya. Jadi, kami yang memiliki penyakit menular masih bisa menginfeksi orang lain. Kami paham dan bisa memakluminya, namun kadangkala itu membuat hati ini tertusuk. Cepat-cepat aku dan Yuva mengabaikan perkataan anak kecil itu dan bergerak lagi.
Beberapa menit terlewati untuk mengelilingi seisi taman. Orang-orang tampak bisa mengendalikan dirinya sendiri agar tak jatuh dalam masalah. Tangan Yuva menyelip ke arah tanganku dan membentuk seperti kail untuk menggaet lenganku. Kakinya cepat melangkah keluar dari taman lalu menuju ke arah jalan. Di pinggir. Di trotoar. Dan trotoar yang terbentang panjang itu akan terus diciumi oleh dua pasang telapak kaki kami yang dibatasi dengan alas kaki. Sedang dua pasang mata kami mengembara mencari siapa saja yang tertimpa masalah.
“Rasanya nggak seperti dulu,” ungkap Yuva membuka pembicaraan. “Dulu waktu cuma membantu teman seperti ngambilin sesuatu untuknya, bantuin masak, bantuin piket, kasi informasi hot, ya bantuan seperti kegiatan sehari-hari itu, bisa menambah Life Point dalam jumlah yang besar. Sekarang kalo cuma ngambilin pulpen yang menggelinding saja cuma dapat Life Point dua belas jam. Pelit sekali,” gerutu Yuva.