Kamis, 22 Maret 2046 pukul sembilan malam, ibuku baru saja menutup toko di depan rumah. Wajahnya tak berenergi. Ia langsung merebahkan diri ke atas sebuah sofa yang satu-satunya kami miliki. Tangan kanannya meraih remote tv dan langsung menyalakan lcd yang berada tepat di hadapan sofa yang ia duduki. Aku bergerak untuk menghidangkan makanan di atas meja makan untuknya. Salah satu makanan berkuah yang masih mengepul asapnya kukipas-kipaskan ke arahnya agar ia segera berpindah menuju ke meja makan. Upayaku berhasil. Bau harum makanan ini berhasil mengganggu penciumannya.
“Maaf, Hami. Hari ini lagi-lagi kau harus memasak untuk Ibu. Pelanggan di toko kecil kita hari ini banyak sekali sampai-sampai Ibu lupa waktu kalau hari sudah malam,” ujarnya begitu ia sudah duduk di hadapan meja makan.
Ibu memang lebih suka memanggilku dengan nama Hami ketimbang Eldan. Katanya, ia sengaja memberiku nama Eldan Wihami. Agar teman-teman dan guruku nantinya akan memanggilku Eldan, sedangkan dialah satu-satunya yang akan memanggilku dengan nama Hami di dunia ini.
Aku kerap sumringah tiap kali kuingat kata-kata itu. Ada sedikit hal kekanakan yang masih dimiliki oleh ibuku ini. Saat ibu asyik menyesap kuah supnya, pandanganku melayang pada kalung yang tersemat di lehernya. 5987 hari tertera pada kaldier miliknya. Terus berkurang semenjak minggu lalu. Ibu seperti tidak membantu orang lain selama itu. Aku jadi mengkhawatirkannya.
“Jangan cemaskan Ibu,” katanya seperti bisa membaca pikiranku saja. “Ibu selalu berbuat baik setiap hari. Membantu orang lain juga setiap hari. Tapi bukan berarti setiap perbuatan kita akan menjadi angka-angka yang besar di sini, kan?” lanjutnya sambil menyuapkan sesendok potongan telur rebus ke mulutnya.
“Maksud Ibu?”
“Life Point Ibu masih bertambah kok. Terkadang bertambah satu jam, empat jam, tiga puluh menit, delapan jam, dan sebagainya. Tidak sebanyak hari-hari dulu. Mungkin karena sudah jadi kebiasaan makanya Ibu tak mempersoalkan besar-kecilnya Life Point yang ibu dapat. Atau mungkin juga Ibu terlalu sibuk bekerja hingga Ibu langsung beranjak dari orang yang Ibu tolong sebelum sensor ini selesai memindai kepuasan hati yang Ibu tolong. Jadinya ada beberapa yang sia-sia,” tuturnya panjang.
“Lain kali jangan terburu-buru dong, Bu. Biarkan sensornya memindai secara sempurna. Kan nggak lama, paling hitungan tiga detik. Sayang ah, dibiarkan terbuang begitu saja,” gumamku sedikit kesal.
“Hahaha, Hami anakku sayang, bisnis ibu sangat menyenangkan. Banyak pelanggan yang datang membeli. Ibu terlalu bersemangat melayani mereka sampai-sampai ibu cepat-cepat meninggalkan orang yang baru saja ibu tolong bila tiba-tiba ada pelanggan datang.”
“Huh, dasar Ibu!” gerutuku.
Aku tak bisa menampik perkataannya. Selama ini ibuku sudah hidup dalam suasana kelam. Cibiran, dipandang rendah, dipandang tak layak hidup bersama di komunitas masyarakat karena statusnya sebagai mantan pelacur yang memiliki anak yang tak jelas siapa ayahnya. Juga karena statusnya sebagai ODHA turut membuat hidupnya semakin berat. Masa-masa sulitnya agar diterima oleh masyarakat itu yang membuatnya kini selalu bersemangat bila ada orang-orang yang mengakuinya sebagai manusia dengan derajat dan martabat yang sama.
“Tenang saja,” ujarnya lagi. Kemudian dengan cepat tangan kanannya menyuapkan sesendok kuah rebusan wortel, jagung muda dan kentang ke dalam mulutku. “Kuahnya agak keasinan. Pasti ada yang sedang kaupikirkan saat memasaknya tadi.”
Lidahku merespon dengan cepat dan raut wajahku berubah seolah membenarkan perkataan ibu. Kadang-kadang insting seorang ibu pada anaknya itu sangat kuat. Lalu aku bercerita seputar perihal yang dialami oleh Yuva. Perempuan tidak cantik yang paling kusayangi ini mendengarkanku dengan masih mengayunkan tangannya dari piring ke mulutnya.
“Bentuk kepuasan seseorang yang telah kita bantu itu relatif,” ibu tiba-tiba memberi tanggapan lagi. “Sensor pemindai hanya bisa membacanya sesuai dengan gelombang kepuasan yang ia terima. Bila hasilnya hanya satu hari, berarti yang ditolong hanya puas atau senang sekedarnya saja. Buktinya, Ibu saja bisa mendapat yang tiga puluh menit saja, kan?” paparnya.
Iya. Pada dasarnya sensor pemindailah yang paling punya peranan dalam hal ini. Sensor juga hanyalah sebuah alat yang sudah terprogram tanpa bisa berpikir dan menimbang untuk mengasihani si pengguna kaldiernya.
“Juga, hal lain yang paling penting dalam membantu orang lain adalah hati,” tambah ibuku.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Memang benar untuk memperpanjang usia hidup, kita butuh kepuasan dan kesenangan dari orang-orang yang kita bantu. Tapi bukan berarti kita fokus berharap dari itu. Keikhlasan dalam hati juga ikut berperan.”
Suapan terakhir berlanjut dengan segelas air putih yang juga telah kusuguhkan untuknya. Kutunggu sampai beliau menyelesaikan dua tegukannya untuk melanjutkannya lagi.
“Sulit memang kalau tak mengharapkan apa-apa. Akan tetapi bila terlalu fokus berharap, hal itu akan mempengaruhi usahamu. Orang yang kautolong hanya akan berpikiran bahwa kau melakukan itu untuknya agar kau bisa memperpanjang usiamu. Makanya mereka hanya akan puas sedikit saja, atau bahkan mungkin tidak puas sama sekali.”
“Tapi kan mereka nggak pernah tahu kalau kita menolong mereka itu ikhlas atau cuma mengharap penambahan Life Point dari mereka,” tanggapku yang masih bingung.
“Bisa, Nak,” jawab ibuku cepat. “Sorot mata, gerak-gerik berlebihan, mimik muka yang tidak natural atau terkesan dibuat-buat, hal-hal seperti itu bisa menunjukkan bahwa kita tidak benar-benar tulus menolongnya. Dan saat orang yang kautolong itu merasakan hal itu padamu, maka kepuasan yang diterimanya akan berkurang dan sensor pemindai hanya akan memberikan Life Point sesuai dengan hasil pindaiannya.”
Ibu bangkit dari duduknya untuk mengambil penjepit rambut di atas sangkutan di dekat pintu kamar, lalu kembali duduk.
“Yah, walaupun sebenarnya orang-orang yang kita bantu itu tidak ada hak untuk menilai kita. Kalau ditolong ya seharusnya mereka bersyukur. Akan tetapi, kita tidak bisa menuntut lebih, kan?” tambahnya lagi.
Otakku mengiyakan tanpa memerintah bibirku untuk berucap. Dari pemaparan ibuku itu aku bisa menyimpulkan satu hal. Mungkin Yuva memang terlalu menggebu sekali untuk mendapatkan Life Point. Hingga ia lupa hal paling dasar dalam menolong itu adalah ketulusan. Tidak bisa sepenuhnya kusalahkan sih. Bila aku dalam kondisinya, aku mungkin juga akan berpikiran yang sama. Life Point dengan jumlah sekecil itu sudah pasti membuat panik diri setengah mati.
“Ibu, terima kasih,” ujarku bersemangat dengan raut wajah yang berseri.