KORONA

Raja Muda Hasibuan
Chapter #5

PARADIGMA BARU

Sabtu, 24 Maret 2046, aku dan Yuva membolos kuliah untuk pertama kali. Perburuan orang-orang yang membutuhkan pertolongan kami lakukan lagi. Kali ini dengan metode yang kurancang sendiri. Dengan membuat mimik wajah polos seperti anak kecil dan melakukan beberapa gerakan yang bisa sedikit menghibur. Meniru gerakan kucing misalnya. Hal ini dilakukan untuk merefleksikan ketulusan hatinya dalam menolong orang lain. Mendengar saranku ini wajah Yuva mengeluarkan raut wajah melihat kotoran. Jijik.

 Begitupun aku tetap menyokongnya terus seperti yang kusarankan. Kuberikan contoh mimik wajah dan gerakan penghibur padanya. Yuva langsung membuang muka dan mual. Meski begitu dia tetap mempraktekkannya dengan muka malas. Kuhardik ia agar lebih serius. Saat ia mengulangi lagi, dia malah seperti wanita penggoda.

“Lihat! Di sana ada seorang ibu tua yang hendak menyeberang jalan. Lekas bantu dia!” seruku.

Yuva mengikuti seruanku dengan cepat. Seorang ibu membawa tas belanjaan sambil memegangi payung di bawah teriknya matahari menunggu celah besar dari deretan kendaraan yang melintasi jalan. Yuva segera menyapanya dengan ramah lalu membantunya menyeberang. Bantuan dari Yuva selesai dalam sekejap, ia segera kembali padaku dengan wajah cerah.

“Aku dapat tiga poin hari. Wajah ibu itu kelihatan senang,” komentarnya.

“Bagus. Kalau begitu kita keliling lagi mencari yang lain,” ajakku.

Baru beberapa langkah kami berdua beranjak, dari arah belakang, seseorang dari dalam truk pembawa barang memanggil kami.

“Kalian, kalian ini yang biasanya memberikan bantuan pada orang-orang, kan?” ujarnya begitu kami sudah menyahut panggilannya.

Kepala kami bergerak mengiyakan. Seorang pria dewasa yang duduk di sebelah sopir truk kontainer mini itu turun menghampiri kami.

“Aku Dian. Kami sedang mengangkut barang-barang pindahan ke kelurahan Siumbut-umbut. Kalian bisa membantu kami? Kami sedang butuh tenaga sukarela tanpa dibayar,” ujarnya tanpa basa-basi.

Beruntung sekali pikirku. Kadang-kadang kesempatan bisa datang sendiri tanpa harus dicari. Aku mengangguk menyanggupi sementara Yuva hanya diam saja dengan senyum di bibir. Pintu kontainer dibuka oleh pria itu dan dia menyuruh kami berdua untuk masuk ke dalamnya.

“Yang bisa duduk di depan cuma dua orang. Kalian duduklah di dalam kontainer ini,” katanya.

Yuva mendekatkan bibirnya ke telingaku dan mengatakan bahwa pria ini kelihatan tidak ramah. Kemudian ia bertanya dengan nada bergurau, “Hey, hey, kami ini bukan mau diculik, kan?”

“Tentu saja tidak. Aku akan membiarkan pintu kontainernya terbuka agar kalian tidak curiga. Dan bisa melompat sewaktu-waktu bila kalian merasa tak aman,” ujar Dian.

“Nggak, nggak, aku hanya bercanda kok,” balas Yuva dengan menggaetku untuk naik ke dalam kontainer. “Tapi memang sebaiknya kontainer jangan ditutup agar kami tidak merasa pengap,” katanya lagi.

Pria itu mengangguk setuju tanpa mengulas senyum, dan meninggalkan kami yang sudah berada di dalam kontainer. Memang tidak ramah sepertinya. Truk ini kembali berjalan. Sofa, kursi dan meja makan, ranjang tidur, tumpukan-tumpukan kardus yang entah apa isinya, meja-meja kecil, lemari, dan semacamnya ada di dalam kontainer. Aku dan Yuva duduk di atas ujung sofa yang kebetulan di atasnya tak terdapat apa-apa dengan ujungnya mengarah ke pintu kontainer. Kaki kami diselonjorkan ke depan di atas sebuah meja kecil karena sofa dan meja ini saling berimpitan. Yuva duduk di sebelahku di bagian dalamnya dan aku bagian luar yang mengarah ke pintu.

“Aku rasa mereka ini hanya memanfaatkan kita saja,” gumam Yuva tiba-tiba membuka pembicaraan baru.

“Eh, kenapa? Aku rasa ini malah kesempatan yang bagus. Kita nggak perlu cari-cari ke sana ke mari,” tanggapku.

Yuva mengeluarkan napas panjang. “Kau ini memang polos dan berhati bersih atau bodoh, sih Eldan? Tak heran kalau kau bisa sebegitu tulusnya dan mendapat banyak Life Point.”

“Ha? Aku tak mengerti. Tugas kita adalah membantu sesama. Selagi ada yang meminta bantuan, kenapa kita tak menolongnya?”

Lihat selengkapnya