Senin, 2 April 2046. Pagi hari sebelum berangkat kuliah, aku mengecek jumlah Life Point-ku. Jumlahnya adalah 12780 hari. Para tetangga masih suka membagikan cinta padaku hingga hitungan nyawaku masih bisa meningkat. Aku masih mendapatkan sejumlah Life Point yang cukup besar dari mereka. Kadangkala mereka juga meminta bantuan pada ibuku agar ibuku juga kebagian jatah yang sama denganku. Orang-orang itu - yang sudah seperti keluarga bagi kami, sebagian besar sangat tahu betul tentang ilmu kesehatan. Mungkin itu sebabnya mereka memiliki rasa empati yang tinggi dan tahu benar keadaan kami.
“Ah!” seruku karena mengingat sesuatu. Kenapa tidak terpikirkan oleh selama ini?
Ujung bawah kemeja yang kukenakan segera kumasukkan dalam celana untuk merapikannya. Rambut kutata seadanya. Ranselku yang menggantung segera kusambar dan aku melangkah keluar dari kamar. Di depan teras rumah, segera kukenakan sepasang sepatu berwarna coklat gelap. Pintu rumah langsung kukunci dan aku beranjak ke kampus. Aku sudah tak sabar untuk memberitahukan hal ini. Bila aku mengajak Yuva untuk beberapa waktu tinggal di area ini, aku yakin Yuva bisa meraup Life Point yang lebih besar.
Yuva pasti bisa kembali merekahkan senyumnya mengingat dalam seminggu terakhir ini wajahnya terlihat muram. Kunyalakan sepeda motorku yang sudak kusiapkan sebelumnya dan segera meluncur ke kampus.
Pukul delapan kurang lima menit aku tiba di kampus. Pikiranku seperti ingin berlari kencang untuk segera berjumpa dengan Yuva. Kalau hari ini, sudah barang tentu ia sudah bersiap di dalam kelasnya. Dan kelasku juga sudah hampir dimulai. Kusimpan dulu hasratku untuk menyampaikan usulan baik ini. Aku harus menunggu sampai jam istirahat.
*
“Yuva! Yuva!” sapaku langsung saat mataku berhasil menemukan sosok wanita yang hendak kutemui dari pagi tadi.
Yuva menoleh ke arahku. Kudekati dirinya dan kutangkap angka kaldier pada layar yang tertera berubah. Tiba-tiba mulutku membeku. Padahal hanya semalam kami tak bertemu. Minggu, 1 April 2046 kami tidak berkencan seperti biasa karena Yuva ingin melakukan suatu hal sendirian. Tetapi, hari ini aku dibuatnya terkejut.
“Oh, ini?” ujar Yuva sambil menunjuk kaldiernya. “Aku menolong beberapa orang kemarin sendirian. Dan lihatlah, Life Point-ku bertambah dengan pesat, kan? Jadi 160 hari sekarang,” ujarnya senang.
Seperti padi yang gagal menguning, aku kecolongan hari ini. Padahal aku ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya senang.
“Nah? Jadi apa? Kenapa kau malah melamun?”
Kalimat tanyanya mengusikku dari alam pikiranku sendiri. Lalu akhirnya aku mengatakan hal yang memang ingin kukatakan. Akan tetapi karena sudah kecolongan, rasa senangnya juga telah kecolongan. Terasa basi. Sambil mengulas senyum, Yuva mendengarkan penjelasanku. Ia menerima tawaranku, tapi tidak sekarang katanya. Lalu perihal Life Point-nya yang bertambah itu juga kutanyakan.
“Rahasia,” jawabnya pelan. “Aku sedang melakukan sedikit eksperimen mengenai hal ini. Tapi aku belum bisa bilang padamu. Akan kukatakan kalau aku sudah berhasil mendapatkan banyak Life Point. Nggak apa-apa, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan. Asalkan Yuva masih bisa lebih lama lagi hidup, aku pasti akan mendukungnya. Dan hal-hal yang mengusik dan mengganggu malah semakin aktif bergerak dalam pikiran. Walau Yuva sudah kembali seperti sedia kala, ada hal yang sedikit berbeda kurasakan dari dirinya. Tiba-tiba seperti ada retakan yang memisahkan. Rasa-rasanya sifat Yuva memang sedikit berubah. Entah di bagian yang mana. Mungkin cara bicaranya yang terdengar semakin tenang dan tersusun. Atau mungkin gerak-geriknya yang terlihat lebih rapi dan tidak ceroboh seperti biasanya.
Seketika kurasakan getaran dari balik sakuku. Telapak tangan kiriku merabanya dan kulihat ada panggilan masuk dari Arfi.