Senin, 2 April 2046 pukul setengah dua belas malam. Secangkir kopi yang tersisa setengahnya berpindah dari tangan ibu ke atas meja. Ia meletakkannya dengan pelan. Namun suara benturan antara cangkir porselen dan meja kaca itu terdengar cukup kuat. Tak ada lagi suara tv. Tak ada lagi suara kendaraan yang lewat atau pejalan-pejalan kaki yang biasanya lewat di depan rumah.
“Bagaimana? Apa ada kemajuan?” ibu membuka pertanyaan.
Aku melirik ke arah jam dinding yang tergantung tepat di atas tv. “Ada,” jawabku singkat. “Namun, ada yang mengganggu pikiranku.”
“Apa?” sahut ibuku.
Ingin kukatakan tapi aku tak tahu bagaimana mengucapkannya. Ini hal yang rumit. Yuva yang sudah kembali meningkatkan pundi-pundi life point-nya ini seharusnya membuatku senang dan menenangkan. Tapi yang ini rasanya berbeda. Ada perasaan janggal yang terus membuntuti dari bayang-bayang.
“Mengenai pertambahan life point Yuva yang terjadi cukup drastis, entah kenapa aku merasa tak nyaman. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aneh, kan?”
“Hmmm ...,” kulit pada dahi ibu terlipat. “Ada sesuatu yang tak biasa terjadi pada Yuva? Sistem kaldier sudah dirancang untuk meningkatkan angka kehidupan kita saat kita berhasil membantu orang lain. Apa ada cara lain yang terlintas di benakmu, Hami?”
Sepertinya tak ada yang salah mengenai itu. Mungkin yang kupikirkan adalah perubahan sifat Yuva yang juga terjadi pada saat bersamaan. Yuva biasanya akan menunjukkan kegembiraan yang sangat mencolok. Entah itu berteriak kegirangan atau segera meluncur mendatangiku untuk memberitahukan kegembiraannya. Kali ini sangat berbeda. Ia tampak lebih santai menyikapinya. Seperti ada beban yang membuatnya tak bisa menunjukkan ekspresi sesungguhnya dari hatinya.
Mau kubuang berapa kali pun pemikiran semacam ini, ia akan muncul dan kembali lagi. Seolah ada sebuah tali elastis yang mengikatnya. Terus menempel tak mau lepas.
“Jadi menurutmu, Yuva melakukan sesuatu kecurangan? Seperti meretas sistemnya untuk menggandakan life point-nya?” komentar ibu begitu aku selesai mengutarakan yang sedari tadi kupikirkan.
“Kemungkinan terburuknya begitu. Sebenarnya aku tak ingin beranggapan demikian. Namun kepercayaan diri dan adanya hal yang disembunyikannya itu yang membuatku jadi curiga. Apa aku terlalu lancang bila aku mencurigainya, Bu?”
Cangkir kopi di atas meja diraihnya kembali. Ia meneguk habis sisa kopi itu dalam satu tegukan. “Tidak, Hami,” jawabnya dengan nada bicara yang masih serius. “Sesekali kecurigaan itu perlu untuk memastikan suatu hal, tetapi tak perlu terlalu diperlihatkan. Bila kau bisa memecahkan hal yang membuatmu curiga secara diam-diam, hal itu akan lebih baik.”
“Jadi menurut Ibu, aku harus tetap menyelidiknya?”
“Jika hal itu bisa membuatmu merasa lebih baik, lakukanlah.”
Tak peduli betapa konyolnya hal-hal yang kupikirkan, ibu tak pernah melecehkan pemikiranku. Dia selalu menanggapinya secara serius bila aku memang sedang tidak mengajaknya bercanda.
“Akan tetapi, kau harus siap dengan apa yang akan kaudapatkan nantinya. Karena belum tentu yang ingin kauketahui itu berujung baik,” tambah ibu lagi. “Bila benar Yuva melakukan kecurangan, apa yang akan kaulakukan? Apa kau akan menghentikannya dengan resiko Yuva kehilangan masa hidupnya?”
“Setidaknya hal itu adalah perbuatan yang benar.”
“Itu artinya kau mengorbankan kebahagiannmu juga. Tapi itu terserah padamu. Ibu rasa, dia hanya bersikap seperti itu untuk membuatnya terlihat lebih dewasa dan tak terlalu bergantung padamu. Jangan lupa untuk melirik kemungkinan yang lain, Hami.”
Sebelah tangan ibu menutup mulutnya yang sedang terbuka lebar sedang kedua matanya dipejamkan. Lalu ia bangkit dari kursi dan beranjak ke kamarnya meninggalkan sepatah kalimat untuk menyuruhku agar tak terlalu lama terjaga. Aku membalasnya dengan anggukan. Kunyalakan tv yang ada di hadapanku untuk sekedar sedikit meringankan beban yang kupikirkan. Kuatur volume-nya sedemikian pelan agar tak mengganggu.
Beberapa chanel tv kupindah-pindah secara berkala hanya untuk mencari tayangan yang menurutku bagus. Namun yang ada hanyalah tayangan film-film yang sudah pernah kutonton sebelumnya dan beberapa siaran berita tengah malam. Tiba-tiba jariku berhenti menekan tombol remote. Kudapati kotaku masuk dalam berita malam ini. Seorang pengusaha ditemukan tewas di kediamannya dengan kondisi terkena sayatan benda tajam di lehernya. Diduga ia dirampok karena barang-barang berharga miliknya juga ikut raib. Menurut keterangan, para perampok berhasil memasuki rumah itu karena sistem keamanannya berhasil mereka bobol. Aku bergidik ngeri. Dan berita itu kusimak baik-baik guna mengantisipasi keadaan yang sedang tak aman ini.
*
9 April 2046. Kehidupanku sebagai seorang mahasiswa berjalan lancar seperti sedia kala. Masih dengan kesibukan tugas kuliah, selain menyempatkan diri untuk membantu sesama demi memperpanjang usiaku. Di samping itu Yuva juga terlihat baik-baik saja. Kini life point yang ia miliki sudah mencapai angka lima ratusan. Padahal ini baru satu minggu semenjak kejadian yang terjadi di kadier center akibat ulah Tante Viola dan yang lainnya. Dan selama itu pula, penyelidikanku pada Yuva tak membuahkan apa-apa.