11 April 2046, aku menyusun rencana untuk membuntuti Yuva dari sepulang kuliah hingga larut malam. Eksperimen rahasia yang dilakukan Yuva ini bagai Newton’s Craddle yang terus berayun tanpa henti di kepalaku. Belum lagi dengan kabar dari Kak Alma tempo hari. Ia turun dari mobil saat malam hari. Tidakkah ia tahu bahwa belakangan ini sering terjadi tindak kejahatan di kota ini?
“Yuva, aku harus pulang cepat hari ini. Tak apa kan kalau hari ini aku tak mengantarmu? Aku ada urusan mendadak di rumah,” dalihku padanya.
Telunjuk dan ibu jari Yuva menyatu membentuk lingkaran pertanda bahwa ia tak keberatan. Sebenarnya aku tidaklah pulang. Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk rencana membuntutinya.
Dengan memakai pakaian sedikit tebal, celana panjang, sepatu, serta topi kupluk dan kacamata, aku berpura-pura menjadi seseorang yang tak memiliki pekerjaan. Duduk bersandar pada sebuah dinding pagar yang di sebelahnya terdapat pohon puring yang rindang untuk sedikit menyembunyikan diri. Posisiku berada di seberang rumah Yuva sambil memegang kertas koran bekas untuk sekedar menyempurnakan penyamaranku.
Sore menelan matahari pelan-pelan hingga tak kelihatan lagi. Suhu udara menurun dan angin lemah mengusap-usap tengkuk. Aku mulai diserang kantuk. Pukul sebelas malam lebih, kudapati seorang wanita yang tak kukenal penampilannya keluar dari rumahnya. Kantukku hilang seketika. Ia muncul mengenakan pakaian kasual seperti biasa. Tetapi dari tas yang dibawanya, itu adalah tas laptop Yuva yang sering dibawanya. Tinggi tubuh, postur tubuh sama. Yang beda adalah penataan rambut, masker, dan kacamatanya. Aku yakin itu memang dia dan sedang menyamar.
Yuva tinggal di rumah sederhana di pinggir jalan. Tidak berpagar karena tepat di depan teras rumahnya langsung terhubung dengan trotoar jalan. Saat ia sudah berada di depan rumahnya, ia segera menyetop taksi yang lewat. Lalu menaikinya. Spontan saat itu juga aku mengambil sepeda motor yang kuparkirkan di dekat tempatku duduk. Aku sengaja membawa sepeda motor sewaan agar Yuva tidak menyadarinya.
Sepeda motor yang kusewa dari tetanggaku melaju serasi menyesuaikan kecepatan taksi yang dinaiki oleh Yuva. Dari jarak kurang lebih dua puluh meter aku berada di belakangnya. Sampai di suatu tempat yang agak sunyi, ia turun. Aku berhenti membelok di sebuah tikungan di sebelah kiri untuk menyembunyikan diri, sedang mataku masih tetap mengawasinya. Selang beberapa menit, sebuah mobil MPV berwarna hitam berhenti di depan Yuva. Saat itu juga dia segera hilang dari pandangan.
Kendaraan hitam yang membawa Yuva itu bergerak lagi menjauh dari tempatku berada. Karena tempat ini cukup sepi, aku menyalakan kembali sepeda motorku tanpa menyalakan lampunya agar tak mengundang kecurigaan. Saat kami sudah mencapai jalanan yang agak ramai, kunyalakan lampu sepeda motorku. Aku berbaur dengan pengendara lain untuk berkamuflase.
Mobil yang dikendarai Yuva tidak bergerak lagi saat tiba di depan sebuah ruko yang pintunya tertutup. Tidak ada penerangan luar dan sepertinya tidak terpakai. Pada bagian ini aku kembali mencari celah yang aman untuk berhenti dan mengamati agar tidak diketahui mereka. Cahaya luminous yang terdapat pada jarum jam tanganku menunjukkan pukul dua belas malam. Yuva beserta empat orang pria dewasa bertubuh tegap turun dari dalam mobil. Jantungku berdegup kacau. Belum lagi mataku terbelalak saat kudapati Tante Viola juga turun dari dalamnya.
Berbagai spekulasi negatif bermunculan di kepala. Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan? Kenapa berhenti di sebuah ruko tertutup yang di sepanjang jalanan yang bahkan sedikit orang lewat? Apa mereka menjual tubuh mereka untuk memuaskan pria tua itu demi mendapatkan tambahan Life Point? Pikiranku sudah terus tertuju ke arah sana. Dan ini terus membuat jantungku berdegup tak karuan. Emosiku meluap-luap dan aku sangat resah seperti orang gila.
Mereka mengobrol sambil menunggu salah seorang dari mereka yang sedang membuka kunci pintu. Tante Viola juga terlihat sedang bercakap-cakap dengan salah seorang pria itu dengan normal. Tanpa menggoda ataupun bertingkah genit. Mereka seperti sedang berbisnis. Untuk saat ini kupendam kembali pikiran negatifku yang sempat muncul tadi. Aku ingin percaya pada Yuva lebih lama.
Pintu dibuka dan mereka semua masuk ke dalam ruangan dengan meninggalkan pintu ruko sedikit terbuka. Lalu lampu di luar ruko itu dinyalakan dan membuat area itu menjadi terang. Entah apa yang mereka lakukan di dalam aku belum berani menyimpulkan dan mengintipnya. Bila mereka sengaja membuka pintu itu, artinya mereka takkan melakukan tindakan tak senonoh di dalam. Begitu pikirku.
Setengah jam berlalu, aku masih mengawasi dari luar sambil sesekali memukuli tubuhku yang dihinggapi nyamuk. Tidak ada tanda-tanda mereka keluar dari dalam. Ingin sekali rasanya datang dan mengintip ke dalam. Namun cahaya lampu yang ada di luar ruko itu terlalu terang. Bisa-bisa aku langsung ketahuan bila aku menyelinap lewat depan. Sementara di sebelah kanan dan kiri ruko itu adalah ruko-ruko lain yang juga tertutup berdempetan. Tidak ada tempat bersembunyi dari jarak dekat.
Kutunggu lagi hingga beberapa saat. Beberapa kali mulutku menguap diserang waktu yang semakin larut dan dinginnya angin malam. Namun mataku tetap tak merasa berat. Mataku seperti menolak reaksi tubuh yang memberi isyarat untuk segera istirahat. Aku berkali-kali melirik jam tanganku, namun jarum jam seperti sudah lelah mencari angka tiga belas.
Pukul satu dini hari lewat. Lampu dalam dan luar dimatikan. Kulihat secara remang mereka berenam keluar bersama-sama dan segera menutup pintu ruko lalu masuk ke dalam mobil. Mobil dinyalakan dan mereka bergegas bergerak kembali. Segera kunyalakan kembali sepeda motorku dan kuikuti lagi mobil itu dari belakang. Di tengah jalanan yang sudah sunyi, aku berusaha sebisa mungkin agar tidak dicurigai sebagai penguntit.
Mobil itu berhenti di pinggir jalan yang jauh dari cahaya lampu jalan untuk mengambil posisi gelap. Aku yang berada di belakang melakukan hal yang sama. Tiga orang pria itu beserta Tante Viola keluar dari mobil. Mereka melangkah bergegas memanjat dinding pagar setinggi kurang lebih tiga meter yang terletak agak jauh ke depan dari mobil mereka berhenti. Salah seorang pria menaiki pundak pria satunya untuk meraih batas pagar sambil membawa tali panjat. Saat ia berhasil naik ke pagar, ia mengulurkan tali ke bawah lalu melompat masuk ke dalam area yang dalam pagar. Selanjutnya anggota lain hanya tinggal naik melalui tali yang digunakan karena pria yang masuk di awal tadi pasti akan bertugas sebagai penahan tali dari dalam. Jantungku kembali berdegup dengan kencang. Melompati pagar ke sebuah tempat, sudah bisa dipastikan ini adalah tindakan kriminal. Apalagi, setelah kulihat dengan baik, bangunan yang ada di dalam pagar itu cukup tinggi – mungkin sekitar empat lantai – adalah bank milik swasta.
Dorongan kuat untuk segera menghalaunya meluap-luap dalam benakku. Bila kulakukan, mungkin akan mengundang keributan besar. Pihak keamanan pasti akan langsung bertindak. Kemungkinan Tante Viola yang ikut masuk ke dalam bisa tertangkap. Belum lagi aku yakin salah seorang pria yang tidak keluar sedang menjaga dari dalam mobil. Di saat kebingungan seperti itu, seketika ada suatu hal yang tebersit. Segera kuraba sakuku dan menekan nomor telepon Yuva. Kudekatkan telepon genggamku ke telinga. Akan tetapi yang terdengar hanyalah mesin penjawab bahwa telepon Yuva sedang tidak aktif.
Aku berada di posisi yang tidak menguntungkan. Belum lagi karena kurang matangnya persiapan yang kulakukan. Siapa yang tahu jika Yuva akan melakukan tindakan seekstrim ini? Jika hanya seorang diri aku takkan bisa menghentikan mereka tanpa ketahuan penjaga. Kadang-kadang aku membenci sifatku yang seperti ini. Nyaliku terlalu kecil. Namun apa boleh buat. Untuk malam ini, aku akan pura-pura tak melihat.
*
Kamis, 12 April 2046 pukul 12.30. Aku mengajak Yuva makan siang di kantin kampus seperti biasa. Raut wajah Yuva terlihat tenang. Seperti tak menandakan adanya kejadian yang ia perbuat semalam.