“Jadi itu yang dilakukannya selama ini?” tanya Kak Alma segera setelah ia mendengarkan ceritaku.
Aku mengangguk. Sabtu, 14 April 2046 pukul empat sore hari. Aku mengumpulkan Kak Alma, Bang Auron, dan Arfi di rumahku, meski dengan memaksa mereka. Bahkan ibuku kularang untuk berjualan hari ini. Pokoknya, untuk alasan ini, aku hanya ingin menceritakannya pada orang-orang terdekatku sebagai sesama pengguna kaldier.
“Ternyata, kaldier juga bisa digunakan dengan cara begitu ya? Jenius sekali,” komentar Arfi sambil menjentikkan jarinya.
“Arfi!” bentak Bang Auron pada Arfi yang sedang berdiri di belakangnya.
“Maaf, hanya bercanda,” balas Arfi.
“Itu artinya sistem kaldier ini memang belum sempurna. Prinsipnya sama dengan peralatan yang sering kita pergunakan. Seperti pisau yang digunakan untuk memotong sayuran dan buah. Bila digunakan dengan salah, bisa menjadi alat untuk melakukan perbuatan jahat,” ucap Bang Auron memberikan penjelasan yang logis.
“Jadi intinya, sistem kaldier ini tidaklah salah. Yang salah adalah cara penggunaannya?” tanya Kak Alma menegaskan argumen Bang Auron. Bang Auron mengangguk.
“Ini hal yang benar-benar buruk. Aku tak bisa membayangkan bila hal ini sampai diketahui oleh para pengguna kaldier yang lain yang bernasib sama seperti Yuva dan Viola. Dengan potensi mendapatkan Life Point yang lebih besar, akan banyak yang tergoda,” komentar ibuku.
Sambil berdiri bersandar pada salah satu dinding di ruangan ini, Kak Alma menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Suara hembusannya terdengar, seolah ia sedang ingin menarik perhatian. “Pada dasarnya mereka melakukan itu karena keadaan yang mendesak. Aku pribadi juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka berdua. Tetapi juga tidak setuju dengan perbuatan yang mereka lakukan,” ungkapnya.
“Tetapi yang namanya tindakan menolong perbuatan kriminal itu tidak bisa dibiarkan. Jika para orang-orang normal tahu bahwa ada pengguna kaldier yang membantu dalam kejahatan, maka mereka akan menganggap kita semua sebagai pelaku kejahatan. Ini dampak yang sangat buruk,” jelas Bang Auron.
“Maksudmu, kita semua bisa dijebloskan ke dalam penjara, Bang?” tanya Arfi dengan mimik wajah tegang.
“Aku rasa itu dampak yang terlalu ringan, Arfi,” sela Bang Auron cepat. “Dampak terburuknya adalah, mereka yang memiliki kendali penuh atas sistem kaldier ini akan menonaktifkan sistem ini. Dengan kata lain,” diambilnya sedikit jeda sebelum meneruskan. “Kita semua akan mati.”
Rona di wajah Arfi perlahan memudar. Ibu dan Bang Auron tertunduk lesu dengan tatapan yang kosong. Asap masih mengepul keluar dari mulut Kak Alma seolah situasi masih baik-baik saja. Kami semua hening. Mungkin masing-masing dari kami sedang mencoba untuk menenangkan diri dan keluar dari keadaan yang rumit ini. Seperti terprogram secara otomatis dengan sendirinya agar tidak terlalu panik dan stres memikirkan hal ini.
“Sebenarnya tujuanku mengumpulkan kalian semua di sini bukan hanya untuk menceritakan keadaan ini. Aku ingin meminta bantuan kalian untuk menghentikan Yuva. Karena aku terlalu lemah. Aku sendiri tak bisa menghentikannya. Kumohon, bila kalian memiliki usul, katakan padaku dan bantulah aku,” pintaku sambil membuang setengah harga diriku.
“Kami paham,” ungkap Kak Alma cepat. Ia bergerak mendatangi meja yang berada di tengah-tengah sofa dan kursi yang kami duduki untuk mematikan rokoknya di atas asbak. “Kita akan memikirkannya bersama-sama. Bila ada yang memiliki ide sebaiknya segera menghubungi satu sama lain. Dan sepertinya kita harus sering-sering berkumpul seperti ini untuk mencari jalan keluarnya,” imbuhnya.
“Kalau begitu, kita harus meminta bantuan dari pengguna kaldier lain untuk memikirkannya bersama-sama,” usul Arfi.
“Jangan!” cegah Bang Auron cepat. “Sebaiknya kita rahasiakan hal ini dulu dari siapapun. Karena mungkin saja ada yang tidak peduli dan malah berbalik mendukung Yuva dengan ide yang lebih gila. Untuk saat ini, kita tidak boleh percaya pada siapapun.”
Keputusan berakhir dengan anggukan setuju. Meski belum ada yang bisa dihasilkan dari rapat ini, setidaknya bebanku sudah sedikit berkurang. Apapun akibatnya, Yuva harus dihentikan sebelum pihak lain yang menghentikannya. Dan sebelum kasus ini menyebar di masyarakat.
*
Senin, 23 April 2046 pagi hari. Kufokuskan pendengaran dan penglihatanku pada siaran berita pagi. Perampokan bank oleh pelaku yang tidak diketahui terjadi lagi. Sistem keamanan bank diretas dengan sempurna. Padahal sistem keamanan sekarang ini benar-benar ketat. Bila gerak-gerikmu terpindai oleh sistem, bisa saja kau akan kehilangan lengan atau kakimu. Bahkan terburuknya kehilangan nyawa. Banyak badan usaha sekarang yang menggunakan laser pemotong sebagai alat keamanan.
Beberapa hari lalu juga disiarkan hilangnya batu permata langka yang ada di museum permata. Sama seperti biasa, sistem keamanan diretas dengan sempurna. Dan beberapa kejadian di tempat lain juga terjadi hal yang sama.
Pikiranku tak pernah lepas oleh Yuva. Peretas wanita handal yang telah kuakui kehebatannya dengan mata kepalaku sendiri sedari SMA ini membuatku semakin gusar. Dulu, beberapa kali ia sering meretas dokumen pelajaran di sekolah untuk melihat jawaban-jawaban ujian yang akan diselenggarakan.
“Untuk melakukan peretasan jarak jauh, biasanya harus terhubung dengan internet. Tapi tidak semua komputer menggunakan internet. Magnetic Scanner. Dengan menempelkan scanner magnetik ini di alat-alat elektronik atau tempat-tempat yang bersistem komputer, aku bisa meretasnya dari jarak jangkauan satu kilometer. Hebat, kan? Resikonya sih, aku harus kehilangan alat ini kalau tidak cepat-cepat kuambil lagi.” Ini adalah ucapannya kala itu saat sedang semangat-semangatnya meretas apapun yang bisa menantangnya.
Magnetic scanner ini berbentuk benda pipih kecil yang bisa ditempelkan di mana saja. Ada yang berbentuk lingkaran, persegi, dan bentuk unik lainnya. Fungsinya adalah pemindai dan pemberi sinyal kendali. Seorang peretas akan memprogram dan memindai peralatan elektronik dari jauh melalui alat magnetic scanner dan membajak sistemnya.
Sudah seminggu ini. Aku tidak bertegur sapa dengannya. Saat aku berpapasan dengannya, ia sengaja tak ingin melihatku. Saat ia kujumpai di kelasnya, ia berlalu sambil mengatakan beberapa patah kata yang menyakitkan. Teleponku tak pernah diangkat. Pesan melalui ponsel juga tak pernah dibalasnya. Yuva benar-benar menghindariku.
Seketika aku bangkit dari tempat dudukku saat aku melihat sosok yang sangat kukenal muncul di televisi lokal Kisaran. “Yuva,” gumamku.
Yuva muncul secara live sebagai narasumber di acara berita lokal pagi ini. Pembawa berita melemparkan beberapa pertanyaan padanya seputar dunia peretasan. Dengan sangat baik Yuva menerangkan perihal peretasan sistem keamanan yang terjadi. Ia mengungkap cara-cara peretasan yang ia ketahui. Secara detil, aku kurang memahami penjelasannya karena aku sendiri tak begitu mengerti tentang itu. Namun yang jadi masalah adalah, kenapa Yuva mau membocorkan rahasianya sendiri?
Bila kuturutkan hasil kerja otakku yang sederhana ini, mungkin dengan beralasan sebagai narasumber, ia bisa memanfaatkannya sebagai alibi agar terhindar dari tuduhan pelaku. Ini tindakan yang sangat beresiko sebenarnya. Seharusnya aku tak perlu heran bila mengingat Yuva yang memang sudah kukenal cerdas sedari SMA. Hanya saja, perubahan sifatnya yang semakin hari semakin membuatku merinding ini sama sekali tak ingin kuterima. Sebenarnya iblis apa yang sudah merasukinya?