Senin, 23 April 2046 malam hari. Setelah aku membanting tas Yuva yang berisi laptop, penyesalan pun datang. Orang-orang yang kupercaya kembali kuhubungi dan kami bertemu di suatu tempat makan di kota.
“Padahal sudah kuingatkan untuk tidak bertindak gegabah tadi pagi,” keluh Bang Auron dengan raut wajah kecewa. Ia memegangi kepalanya yang terlihat pusing mendengar pengakuanku.
“Maafkan aku,” sesalku dengan suara yang pelan. Kak Alma terlihat hanya terlihat diam saja sambil meneguk minuman dinginnya. Sementara Arfi tidak kelihatan batang hidungnya.
Selagi aku menyesali perbuatanku, mataku iseng memeperhatikan keadaan sekitar. Di dalam gerai makan fast food ini, beberapa pasang mata tertuju ke arah kami. Ada yang terdengar berbisik-bisik. Tiap kali arah mataku meraba mereka, mereka membuang pandangan dengan raut wajah yang terlihat jijik. Adapula yang beringsut keluar dengan wajah kesal, seperti tidak senang dengan keberadaan kami di sini. Juga, ada beberapa orang tua yang langsung menarik dan menjauhkan anaknya saat anak mereka melintas di dekat meja yang sedang kami tempati.
“Abaikan! Jangan terlalu menggubris tingkah laku mereka,” tegur Bang Auron cepat padaku. Aku mengangguk.
“Ah, aku sudah mulai terbiasa ditatap oleh mata-mata seperti itu. Aku justru kasihan pada mereka. Mata yang sehat itu mereka kotori dengan sifat arogan mereka. Malangnya,” komentar Kak Alma pelan. Dagunya ia topang pada tangan kanannya yang tegak di atas meja.
“Mereka hanya minim informasi mengenai kita. Dan banyaknya orang yang memprovokasi bahwa kita ini adalah penyebar infeksi menular dibiarkan begitu saja,” ujar Bang Auron.
“Begitupun tidak masalah. Dengan begini kita semakin tahu bahwa dunia ini sebenarnya penuh dengan orang-orang busuk seperti mereka,” imbuh Kak Alma. Sontak, aku dan Bang Auron melayangkan tatapan keheranan dengan pernyataan Kak Alma. Merasa dipandangi seperti itu, ia membalas tatapan kami sembari tersenyum. “Kalau Yuva pasti akan bilang begitu,” lanjutnya.
Aku mendengus kuat. Lain kali sebaiknya aku memilih tempat yang tidak ada orang lain selain kami. Tempat umum seperti ini bisanya hanya menuntun kami ke pembicaraan yang seharusnya tak perlu kami bahas. Membuang waktu dan membuyarkan fokusnya topik pembicaraan.
“Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang, Eldan? Mungkin Yuva sudah sangat membencimu saat ini,” tanya Bang Auron mencoba kembali pada topik utama.
Itulah sebabnya aku menyesal melakukannya. Alih-alih menghentikan Yuva dalam membantu tindakan kriminal, aku malah memperkeruh hubunganku dengannya. Bila sudah begini, Yuva takkan mau mendengarkan ocehanku lagi.
“Aku juga masih belum bisa menjawab itu, Bang. Mungkin aku harus meminta maaf padanya.”
“Yang seperti itu takkan bisa selesai dengan kata maaf,” sela Kak Alma. Ia meraih bungkusan rokok dari sakunya dan mengambil sebatang dari dalamnya. Sesaat ia hendak menyalakan korek, Bang Auron mencegahnya sambil menunjukkan tanda yang tertempel di dinding ruangan ini. Wajah Kak Alma pun terlihat kesal.
“Mungkin aku perlu mengganti laptopnya dengan yang baru agar ia mau memafkanku.”
Bang Auron dan Kak Alma membisu sambil melayangkan tatapan ke arahku. Wajah keduanya menjadi sama. Sama-sama keheranan. Sama-sama seperti melihat orang yang bisa terbang tinggi. Atau seperti melihat kucing yang mengeluarkan tanduk. Hal itu berlangsung sekitar sekian detik hingga aku salah tingkah.