“Eldan.” Sepintas suara perempuan mencolek telingaku dari arah belakang saat aku sedang duduk sendirian di bangku panjang yang berjejer di taman kampus.
Dengan refleks, aku menolehkan pandangan ke arah belakang. Mataku membelalak mendapati sesosok wanita yang sudah sering tak terlihat di kampusku. “Kristal?” ucapku kaget.
“Krista!” balasnya untuk menyangkalku yang salah menyebutkan namanya.
“Ah, maaf. Namamu serasa tanggung sih,” ujarku beralasan. Kemudian aku bangkit dari posisi dudukku lantas mendekatinya. “Aku dengar kau sedang dirawat di rumah sakit. Kau sudah ...?” Kalimatku terhenti saat bola mataku menangkap sesuatu yang tak asing tertaut di lehernya.
“Iya,” katanya sambil mengembangkan senyum. Sambil menyentuh kaldiernya, Krista berujar lagi, “Kanker darahku sudah pada tahap stadium yang membahayakan. Aku tak bisa lebih lama lagi membiarkannya. Jadinya aku menukar hidupku dengan alat ini.”
“Kanker darah? Kenapa selama ini kau tak pernah bilang?” tanyaku cepat. Krista hanya membalasnya dengan tersenyum sambil menjulurkan lidah.
Kamis, 26 April 2046. Aku mendapat pernyataan yang mengejutkan dari Krista. Teman sekelasku yang berwajah paling manis dengan rambut panjang lurus. Kulitnya putih, dengan tubuh yang agak sedikit kurus sekarang. Padahal biasanya ia terlihat seperti aktris bintang film atau bahkan puteri kerajaan. Yang aku tahu Krista sering tak masuk kuliah karena kondisi tubuhnya yang memang lemah. Ia sering pingsan di kelas dan harus istirahat beberapa hari di rumah.
Kaldier yang terpasang pada lehernya menunjukkan angka 352 hari. Dia masih punya waktu sekitar satu tahun untuk mengumpulkan lebih banyak lagi Life Point.
“Tolong bantu aku mengumpulkan Life Point, ya? Aku belum tahu banyak,” pintanya lembut.
Aku mengiyakan. Tanpa memberitahunya tentang peristiwa yang sedang berlangsung di kalangan para pengguna kaldier. Untuk sesaat, sepertinya aku melupakan masalahku. Entah kenapa dengan hadirnya Krista yang tiba-tiba meminta bantuan padaku bukannya membuatku semakin pusing, justru sebaliknya. Semangatku kembali lagi.
“Ah, tapi aku nggak memaksa. Siapa namanya? Yuva ya? Kalau kau merasa terbebani ya tidak usah dipaksakan. Aku juga agak tidak enak padanya,” tutur Krista lagi.
“Tidak apa-apa. Yuva sedang sangat sibuk belakangan. Aku akan menjelaskan padanya nanti.”
Wajah Krista mencerah. Aku tersenyum tipis. Tiba-tiba mataku teralih ke arah belakang Krista. Sosok Yuva melintas tak cukup jauh dari posisi kami berdiri. Ia melirikku sepintas dengan tatapan seperti orang yang tak pernah mengenalku, lalu membuang mukanya ke arah depan. Sebuah tas berbentuk persegi disandangnya di pundak sebelah kirinya. Pikiranku mulai meraba isi tas yang dibawanya itu. Mungkin itu adalah perangkat peretasnya yang baru. Yuva akan meretas lagi.
“Ada apa?” suara Krista menarik kembali arah pandanganku ke arahnya.
“Ah, tidak-.”
Seperti tidak percaya, Krista langsung membalikkan badannya untuk melihat hal yang kulihat. “Itu Yuva, kan? Kenapa kau tidak menyapanya?” tanyanya lagi sambil menoleh balik ke arahku.