Minggu, 29 April 2046 pukul sembilan pagi. Kak Alma menanyakanku tentang keberadaan Arfi melalui telepon. Hatinya bertanya karena belakangan tak bisa menghubungi Arfi dan sulit sekali menemuinya di tempat tinggalnya. Kutanggapi pertanyaan Kak Alma dengan jawaban yang sama pula. Arfi seperti telepon genggam yang dibawa ke sebuah pulau kecil di tengah laut. Tak bisa dijangkau. Entah karena apa. Ia seperti menghilang begitu saja. Bila Kak Alma sampai serius menghubungiku karena masalah ini, mungkin saja terjadi sesuatu padanya.
“Aku akan mengeceknya lagi ke kontrakannya bersama temanku,” tawarku.
“Teman? Kau masih punya teman selain Yuva?” Kak Alma bertanya dengan intonasi yang terdengar keheranan dari seberang telepon.
“Ada, hanya satu orang. Kebetulan hari ini kami memang ingin keluar. Juga ada satu lagi temanku. Dia pengguna baru,” paparku. “Dia baru saja memasang kaldier di lehernya,” sambungku cepat.
Lalu keadaan dalam telepon menjadi hening. Perempuan dewasa yang meneleponku ini tak berucap sepatah kata pun untuk beberapa saat. Dari keheningan itu aku bisa membaca apa yang ada dipikiran Kak Alma. Adanya pengguna kaldier baru tidaklah membuat kami senang karena mendapatkan teman baru. Justru sebaliknya. Pengguna kaldier baru adalah orang yang bernasib malang. Jauh dalam diri kami sebenarnya tidak ingin ada orang lain lagi yang mengalami keadaan serupa. Apalagi dalam masa-masa ini. Saat paradigma orang-orang pada pengguna kaldier sudah banyak berubah.
“Ah, maaf. Tiba-tiba aku jadi diam. Kalau sudah ada kabar tentang Arfi, segera hubungi aku ya,” kata Kak Alma mencairkan keheningan.
Aku menyanggupi. Lalu kututup teleponnya. Sesaat sebelum aku memasukkan telepon genggamku ke dalam saku, dua sosok Yuva kembali hadir dalam pikiranku. Yang satu adalah sosoknya yang selalu riang, sedang yang satu adalah sosoknya yang sekarang. Aku belum bisa menafsirkan sosoknya saat ini. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi.
Tapi bayangan itu seketika membuyar saat kulirik jam dinding yang masih setia berputar mengeja detik. “Gawat! Aku bisa membuat Dawn dan Krista menunggu,” ujarku saat melihat jarum jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat. Kusambar cepat sepatuku dari raknya dan kupakai lalu bergegas pergi.
Seharusnya kami bertiga bertemu di pendopo lapangan Parasamya Kisaran jam sepuluh pagi ini. Selanjutnya kami akan berkeliling-keliling kota bersama-sama. Hanya untuk menghilangkan penat, dan hanya untuk menikmati kebersamaan. Sesampainya di tempat yang dijanjikan, Dawn menyerangku dengan omelannya. Kulayangkan kata maaf sambil tersenyum.
Waktu selalu terjun dengan cepat bila dihabiskan dengan bersenang-senang. Main di waterpark, mencicipi macam-macam kuliner, mencari tempat untuk berfoto, hingga berakhir di salah satu pusat perbelanjaan modern di kota. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tanpa sengaja, bola mataku menangkap benda yang tak asing kulihat tergantung rapi di sebuah gerai kecil. Tubuhku bergerak sendiri akibat hasutan memori terdalam untuk mendekatinya. Tanganku segera menyambar benda itu. Masih dengan bungkusan plastiknya yang rapi, kusentuh dan kuperhatikan bentuknya dengan memutar-mutarnya. Itu adalah sebuah sarung tangan rajutan dengan motif Hitameong – karakter kucing hitam kesukaan Yuva. Bahkan hanya sebuah benda yang tidak terlalu penting bagiku bisa membuat ingatanku kembali padanya. Dan ingatan itu membuatku memutuskan untuk membelinya begitu saja.
Suara Krista memotong ingatan itu saat ia memanggilku dari belakang. Kutolehkan pandanganku ke arah sumber suara. Krista masih dengan senyumnya. Sedangkan Dawn mengetuk-ngetuk jarinya seperti orang yang kelelahan menunggu. Kemudian telunjuknya bergerak menuju ke suatu arah. Arah mataku langsung mengikuti arah telunjuknya seolah ada tali tak terlihat yang menarik bola mataku. Area permainan. Aku mengangguk menurut. Bungkusan Hitameong yang kubeli tadi kutenteng begitu saja karena aku tak membawa tas. Lalu bersama mereka kuhabiskan waktu untuk bermain di area permainan di mal ini.
Aku duduk di dekat meja pelayanan sambil melihat Dawn dan Krista yang masih asyik bermain melempar bola ke ring. Mataku meliar. Di salah satu pojokan di dalam area ini, beberapa orang – dari yang masih sekitar umur empat belas tahun hingga yang dewasa – berkerumun di satu tempat. Di tempat itu terdapat suatu kotak permainan yang apabila dimenangkan dan mendapat sejumlah kupon, kupon tersebut bisa ditukar dengan uang tunai. Terdengar suara satu orang yang sangat ricuh dari sana. Sedangkan yang lain ada yang bertepuk tangan dan berdecak kagum.