Masih di hari yang sama. Aku sudah tiba di markas polisi bersama tiga polisi tadi. Markas polisi ini letaknya tepat di pinggir jalan lintas Sumatera – di pinggir kota Kisaran. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tempat ini dari rumah sakit karena jaraknya juga tak begitu jauh.
Dengan kedua tangan yang masih diborgol, aku dibawa ke sebuah ruangan untuk dimintai keterangan. Seorang polisi wanita yang bertugas di depan komputer menanyaiku. Tangannya mulai bermain di atas keyboard komputer begitu aku menjawab pertanyaannya. Beberapa pertanyaan kujawab dengan jujur, namun yang lainnya merupakan pertanyaan tuduhan, dan aku menolak untuk mengakuinya.
Tahapan interogasi selesai dan dua polisi menggiringku ke tempat lain. Sebelum aku benar-benar beranjak dari tempat ini, kulihat polisi tenang yang tadi merokok di dalam mobil berdiri bersandar di dekat pintu. Aku baru sadar kalau dia ikut mengawasiku. Tampangnya masih tetap malas seperti tadi. Dari sorot matanya seolah ia kasihan melihatku.
“Seharusnya kau jangan bermain-main dengan hukum, Nak,” ucapnya pelan saat aku melintasinya.
Kalimat itu langsung dicerna telingaku mentah-mentah. Bibirku ingin sekali menghardik dan menyangkal ucapannya barusan. Sialnya, dua polisi tadi juga tak memberiku kesempatan untuk membalas ucapan pada pak polisi yang terlihat malas itu. Aku digiring cepat ke luar ruangan menuju ke ruangan lain.
Orang yang kukhawatirkan selama ini ketemu tanpa harus dicari. Bola mataku berhasil menangkap sosok Arfi. Arfi berada di dalam sebuah ruangan beton yang bagian depan dan pintunya terbuat dari batangan-batangan besi. Polisi yang bertugas di dalam membuka kuncinya. Borgolku dilepas, dan aku didorong masuk dengan kasar ke dalam ruangan yang sama dengan tempat Arfi ditahan.
“Apa mereka juga berlaku kasar begitu bila pelaku kriminalnya adalah orang tua renta?” umpatku setelah polisi itu menjauh dari jeruji besi ini.
“Hahahaha,” terdengar suara tawa terkesan mengejek. “Kenapa kau juga bisa ada di sini? Kau ikut merampok juga?” ejek Arfi yang duduk bersandar di dinding.
“Ini semua kan gara-gara kau!” bentakku dengan muka masam. Aku benar-benar ingin menghajarnya. Telunjuk Arfi mengarah ke wajahnya sendiri dengan tampang bingung.
“Kenapa kau ikut merampok seperti yang-,” ucapanku terhenti saat Arfi menempelkan telunjuknya ke bibirnya.
“Tenanglah dulu, Eldan. Akan kuceritakan nanti. Sekarang aku ingin tahu apa yang membawamu bisa sampai ke tempat ini?”
Aku pun mengambil posisi untuk duduk di sebelahnya sambil bersandar ke dinding. Kulihat ada tiga orang lain di dalam sini yang usianya terlihat lebih tua dariku. Namun tak terlalu kupedulikan. Kujelaskan pada Arfi tentang yang terjadi.
Arfi tak terlihat menyesal. Dia malah berusaha untuk menahan tawanya. Kalau aku tak berbakat dalam hal menahan emosi, dia pasti sudah babak belur kuhajar dari tadi. Yang membuatku heran adalah, dia sebegitu santainya berada di dalam sini. Seolah akan ada sesuatu yang bisa membawanya segera keluar dari tempat ini.
“Kenapa kau bisa santai seperti itu?” pandangan sinisku menghujani wajahnya yang masih terlihat ceria. Padahal sudah jelas saat ini kami sedang berada di tempat yang tak membuat gerakan kami bebas.
“Sebentar lagi waktunya,” balasnya. “Nanti kau juga akan tahu sendiri,” jawabnya sok cuek. Lalu dia menarikku ke sudut ruangan agar bisa sedikit menjauh dari tiga tahanan sementara yang lain. “Ada yang ingin kuberitahu padamu.”
Arfi memberi kode dengan memainkan matanya padaku. Aku mengerti. Kemudian kuarahkan pandanganku pada tiga orang lain yang ada di situ. Sambil tersenyum aku berkata, “Kalian tahu kalung ini, kan?”