Senin, 14 Mei 2046 pukul 01.18 WIB. Aku dibawa oleh Yuva dan anggotanya kabur dari penjara dengan mengendarai mobil mpv. Kaos tahananku dan Arfi yang memiliki tulisan bersablon di belakangnya kami buang menurut perintah Yuva. Selanjutnya ia memindai kaldier kami berdua untuk meretas alat pelacak yang ditanamkan di sana.
“Khusus pengguna kaldier, sudah pasti mereka menanamkan pelacak otomatis pada kaldier. Karena takkan mungkin kalian mau melepaskan penyangga nyawa kalian,” katanya.
Pantas saja. Seingatku, para tahanan lain juga dipasangkan kalung di leher-leher mereka. Mungkin itu kalung pelacak. Pelacak agar bila sewaktu-waktu kabur, bisa dilacak dengan mudah. Akan tetapi, para non pengguna kaldier akan jauh lebih mudah melepas pelacak tanpa perlu khawatir dengan keselamatan nyawanya. Ada beragam cara jika sudah tahu trik khususnya.
Kami melewati jalan-jalan kecil di daerah pemukiman warga untuk menghindari pemeriksaan keamanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Mengingat banyaknya narapidana yang mencoba kabur, sudah pasti para aparat keamanan itu digerakkan ke segala penjuru tempat. Di samping itu, Yuva juga mengacaukan sistem lalu lintas di jalan raya dengan meretasnya langsung lewat koneksi internet. Sistem lalu lintas memang dirancang dengan koneksi internet oleh pemerintah agar lebih mudah ditangani. Hanya saja itulah kelemahannya, Yuva jadi bisa menghalangi akses para polisi yang mengejar tahanan kabur dengan cara menyibukkan mereka dengan kemacetan.
Di dalam sini, di dalam mobil. Situasi antara aku dan Yuva terkesan canggung. Tidak satupun dari kami yang memulai pembicaraan lebih dulu. Yang terdengar hanyalah celotehan Arfi dengan dua orang pria tak kukenal yang sedang duduk di bangku depan. Kadang-kadang Yuva juga meanggapi ocehan Arfi bila dianggapnya perlu. Yuva tak mengendurkan otot wajahnya sama sekali.
Seketika ia melirikku. Tepatnya ke arah kalungku. Lantas bola matanya melebar. “Kenapa life point-mu bisa berkurang sampai setengahnya? Ini belum ada sebulan semenjak aku terakhir kali bertemu denganmu,” tanyanya heran.
“Ah ini,” gumamku pelan. Pertanyaan barusan menyeretku pada momen yang membuatku dilema. Antara memberi tahu hal yang sebenarnya atau harus berbohong padanya. Aku khawatir dia akan melakukan hal lain lagi bila kuberitahu hal yang sebenarnya. “Ini karena aku membaginya dengan seorang anak kecil yang malang. Dia tidak cukup beruntung untuk memperoleh life point,” alasanku.
“Apa wajahku kelihatan cukup bodoh untuk kauasupi aku dengan jawaban konyol, Eldan. Tidak ada dokumen manapun dalam kaldier yang bisa mentransfer life point pada seseorang.”
Rasanya seperti disekap di dalam kulkas. Aku membeku. Mencoba memikirkan cara lain untuk menyembunyikannya. Namun tak satupun dari tiap mili otakku berpikir dengan keras. Mau tidak mau, bibir dan lidahku kompromi untuk berbicara. Kubeberkan hal yang terjadi padaku bahwa virus yang kuidap mengalami mutasi dan memicu penyakit lain karena daya tahan tubuhku digerogoti. Untuk mendapatkan gelombang kaldier yang baru dan memasang gelombang kaldier tambahan, aku harus membelinya dengan harga yang mahal atau menukarnya dengan sejumlah life point-ku.
Bola mata Yuva melotot sambil menggigiti kuku ibu jari kanannya segera setelah selesai mendengar penjelasanku. Raut wajah kesal tercuat begitu saja. Kemudian matanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Brengsek!” umpat Yuva seketika. Aku menelan ludah. Sedang Arfi dan dua orang lainnya juga tiba-tiba diam membisu. “Jadi selama ini mereka menyembunyikan hal penting seperti itu? Sialan! Sialan!” imbuhnya lagi.
“A-ada apa, Yuva? Kenapa kau tampak kesal?” tanyaku dengan dada yang berdegup kencang. Takut-takut kalau Yuva beralih membentakku.