KORONA

Raja Muda Hasibuan
Chapter #17

HARPY

Masih di hari yang sama, udara panas menggigit kulitku tanpa ampun hingga aku terbangun. Dengan sebelah tangan, kukucek mata dengan perlahan. Kemudian melepas pandangan ke arah jam besar yang ada di tengah taman setelah mampu beradaptasi dengan cahaya. Untuk ukuran pagi hari menjelang siang, cuaca hari ini cukup menyengat. Dengan mata yang masih seperti digantungi oleh jangkar besi, aku melangkah ke toilet umum untuk membasuh muka.

Hal yang sudah kuduga terlihat setelah mataku terbuka lebar. Wajahku kini sudah terpasang di sebuah lembaran kertas yang di tempal di beberapa bagian di taman. Ada yang di tiang besar, dinding luar toilet, papan informasi, juga bagian-bagian objek hologram publik di sekitarnya. Wajahku, wajah Arfi, wajah Kak Alma, dan wajah Bang Auron terpampang berderetan sebagai orang-orang yang dicari kepolisian. Seharusnya aku tak perlu terkejut melihatnya. Akan tetapi satu wajah lagi yang sangat kukenal juga ikut terpajang di sana.

“Yu ... va?” gumamku reflek dengan mata melotot.

Seingatku, tindakan Yuva masih serupa bayang-bayang. Dia belum pernah melakukan kesalahan saat melakukan aksinya. Barang bukti berupa magnetic scanner yang sering ditinggalkannya di beberapa tempat yang menjadi targetnya takkan cukup kuat untuk melacak penggunanya. Kalau dugaanku benar, Yuva akan selalu memberi program otomatis pada alat miliknya itu untuk mereset semua data yang ia gunakan hingga sulit bagi alat itu untuk menunjukkan riwayat si pengguna. Dia pernah menjelaskan hal dasar itu kalau-kalau dia tak sempat mengambil magnetic scanner-nya kembali. Meski ia harus rela kehilangan itu. 

Atau jangan-jangan polisi juga memiliki programmer atau peretas handal yang mampu memunculkan program dan data yang bisa direset? Ah, tiba-tiba aku mendadak pusing. 

Layar ponselku kuusap dan segera menekan nomor Dawn yang kuingat. Aku memanggilnya lewat video call. Kemudian layar yang menunjukkan wajahnya muncul dan suara terdengar.

“Dawn, aku butuh bantuanmu.”

“Eldan? Kau Eldan, kan? Kau ada di mana sekarang?” balasnya dengan nada panik.

“Aku masih di taman yang tak begitu jauh dari rumah.”

“Kau berhasil kabur, ya? Kau menelepon lewat apa?”

“Ini telepon lama ibuku.”

“Apa kau memakai identitas aslimu saat registrasi kartu sim-nya?”

Aku mengangguk. 

“Bodoh!” umpatnya cepat. “Polisi bisa melacakmu bila mereka meminta bantuan operator provider yang kaupakai. Mereka juga bisa merekam isi pembicaraan kita.”

Aku tertegun untuk sementara. “Ah, iya, kau benar. Jadi bagaimana aku menghubungimu?”

“Sekarang kita bertemu di tempat biasa. Tutup panggilan ini dan buang jauh-jauh kartu sim-nya.”

Telepon ditutup. Tempat biasa ya? Rasanya aku sudah lama sekali tidak ke sana. Tanpa pikir panjang lagi aku pun segera menuju tempat yang dimaksud Dawn setelah menonaktifkan ponselku dan membuang jauh kartunya.

Kami bertemu di tempat penjualan disk game di tengah kota. Di tempat ini kami sering menghabiskan waktu karena toko ini memiliki ruang tunggu yang menyediakan berbagai makanan dan minuman juga. Dawn muncul setelah aku menunggunya selama lima belas menit.

“Tak kusangka wig-mu bisa membantu,” sapaku begitu Dawn sudah duduk di hadapanku.

“Kenapa tubuhmu jadi kecoklatan seperti ini? Kau ditahan atau liburan ke Hawaii?” tanyanya heran. Ia terdengar seperti sedang mengejek, tetapi sebenarnya memang heran melihat penampilanku. Lalu kutunjukkan sebuah botol kecil padanya. Ia mengangguk.

Dawn menyodorkan satu kartu sim yang masih baru padaku. “Itu sim yang kudaftarkan dengan identitas adikku. Jadi keberadaanmu akan tersamarkan. Dan terima kasih juga untukmu. Berkat kau, aku terpaksa mengganti kartu sim-ku untuk sementara dengan memakai identitas ayahku,” jelasnya panjang.

“Ah, kau kan tak perlu ikut-ikutan mengganti ientitas sim-mu?” tanyaku heran.

“Kalau isi pembicaraan kita tadi telah diketahui, kemungkinan mereka akan terus memantauku lewat nomor yang tadi. Aku bakal sulit menghubungimu nanti.” Dawn mentutorku dengan wajah yang sedikit kesal.

Masuk akal, dan aku sama sekali tak memikirkannya. Aku meneguk secangkir kopi yang ditaruh dalam cangkir porselen dengan motif gambar karakter game di pinggirannya. Final Fantasy. Ini adalah salah satu game kesukaanku dan Dawn. Aku rasa seri yang terbaru sudah mulai dijual di pasaran. Lantas aku tersenyum simpul.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Lihat selengkapnya