Selasa, 15 Mei 2046. Tidak ada deru mesin kendaraan, celotehan keramaian manusia, desingan mesin industri, atau pun suara detak jam dinding. Aku tinggal sementara bersama Bang Auron dan Kak Alma di Harpy. Di tempat ini, kami menghabiskan banyak waktu mencari ide untuk menyelesaikan permasalahan yang kami hadapi. Selama aku berada di penjara, dengan sukarela Kak Alma bertugas membeli makanan ke kota dan berbagai keperluan yang mereka butuhkan – dengan penyamarannya. Sementara Bang Auron mengumpulkan informasi melalui media internet lewat gadget-nya.
“Pengisi daya,” ujar Kak Alma sambil menyodorkan sebuah benda berbentuk kotak kecil ke arahku. “Di sini tak ada sumber arus. Kau butuh ini untuk mengisi ulang ponselmu. Bisa tahan sekitar satu minggu pemakaian.”
Aku mengambilnya. Kusisipkan pada tas kecil yang kubawa karena untuk saat ini baterai ponselku masih bisa bertahan cukup lama. Dawn tak ikut tinggal di tempat ini. Aku menyuruhnya pulang dan membiarkannya memikirkan kembali perihal uluran tangannya pada kami. Mungkin saja saat di rumah nanti dia berubah pikiran, dan tak lagi terlibat dengan kegilaan ini.
Akan tetapi, prediksiku sepertinya sangat meleset. Dawn justru kembali lagi ke hadapan kami. Bahkan dengan membawa satu orang lagi. Krista. Dengan memasang mimik wajah cemas bercampur haru, ia segera melangkah ke arahku dan merengkuhku. Suara isak tangisnya menggema dari arah telinga kiriku. Kedua tangannya mendekap erat. Ingin kubalas dekapannya. Sekedar ingin saja. Sebab tanganku agaknya enggan untuk bergerak.
“Ini sudah jadi keputusan kami sendiri. Jadi aku harap kalian tak keberatan dengan ini,” ungkap Dawn dengan menghadapkan wajahnya pada Bang Auron dan Kak Alma. Mereka hanya diam saja tak berkomentar.
Setelah berbasa-basi mengenalkan diri pada Bang Auron dan Kak Alma, Krista mulai berkata-kata. “Malam tadi, banyak kejahatan yang terjadi dari berbagai penjuru kota. Perampokan, pencurian, penculikan, pembobolan, semuanya terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan salah satu usaha milik ayahku yang terletak di tengah kota ikut dibobol. Di semua tempat terjadinya insiden, teringgal bukti sisa-sisa peretasan sistem keamanan yang dilakukan. Besar kemungkinan pelakunya adalah para tahanan kriminal yang melarikan diri bersama-sama dengan Arfi dan Eldan,” papar Krista.
“Yuva benar-benar melancarkan aksinya,” gumamku sesal.
“Tidak seperti kejadian sebelumnya,” tambah Krista lagi. “Insiden kali ini menimbulkan korban. Banyak yang terluka parah, dan ada pula yang terbunuh. Kota kita sudah berubah menjadi sangat tidak aman.”
“Para tahanan yang melepaskan diri itu bertindak di barisan depan. Sedang beberapa pengguna kaldier berperan sebagai pendukung kegiatan itu. Ini kondisi yang sungguh mengkhawatirkan,” Dawn menambahkan.
“Bagaimana ini, Bang? Kita harus melakukan apa?” tanyaku panik.
Bang Auron diam tak menghiraukanku. Tangannya menggeledah sakunya sendiri lalu membuka smartphone miliknya. Jemari kanannya berdansa dengan cepat di atas layar sentuh itu. Kemudian berhenti. Lalu menari lagi, dan begitu seterusnya untuk beberapa saat. Setelah dirasanya cukup, Bang Auron mulai berkomentar membenarkan pernyataan Krista. Namun itu tak membuatku senang.
“Lalu bagaimana?” tanyaku lagi.
“Pemerintah daerah sudah mengambil tindakan pengamanan. Tetapi belum berhasil meringkus para pelaku itu. Aku rasa Yuva sudah mengatur semua jalannya. Tidak hanya peretas handal, dia juga ahli strategi yang hebat,” puji Bang Auron.
Dahiku berkerut merasa tak puas dengan perkataannya. Itu sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Jari-jarinya masih berselancar di layar ponselnya dan tatapannya juga tak mau lepas dari sana. Seolah Bang Auron bertingkah menghindari pertanyaanku, dia seperti orang yang kehilangan semangat.
“Pacarmu itu benar-benar hebat, Eldan. Aku tak menyangka aku sudah berteman dengannya selama beberapa tahun dan baru kali ini menyadari kehebatannya,” timpal Kak Alma pula. Sembari melirik ke arah Krista barang sekejap.
“Oh, ayolah. Aku tak ingin mendengar itu. Aku ingin tahu pendapat kalian karena aku sendiri belum tahu harus melakukan apa,” ujarku sedikit geram.
Aku seperti anak laki-laki yang merengek-rengek meminta dibelikan mainan. Atau seperti anak perempuan yang memaksa ayahnya untuk menggendong dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Keduanya sama saja. Tetap tak bisa mengandalkan diri sendiri. Bang Auron kemudian menghentikan gerakan jarinya. Matanya segera menyambarku.
“Satu-satunya cara adalah menghentikan dalangnya. Kita harus meyakinkan Yuva untuk menghentikan perbuatannya. Atau kita menangkapnya dan menyerahkannya pada kepolisian. Apa kau bisa melakukannya, Eldan?” Bang Auron balik bertanya.
Dengan kemampuan otakku yang tak begitu piawai dalam memecahkan suatu masalah, aku tak bisa menjawab pertanyaan Bang Auron.
“Keberadaan Yuva tidak kita ketahui. Belum lagi mengingat kecerdasannya itu. Yuva pasti hati-hati dalam memilih tempat yang bisa menyamarkan keberadaanya. Juga dengan pengikut Yuva yang semakin bertambah. Bukan masalah mustahil atau tidak. Tapi memang kita harus punya banyak informasi terlebih dahulu. Ini tugas yang sangat berat untuk kita yang hanya cuma berlima. Belum lagi dengan status kita yang sebagi buronan ini, untuk bergerak saja kita sulit,” tutur Kak Alma panjang. Ia memasang wajah yang sama seperti Bang Auron. Mereka terlihat putus asa.
Telingaku ingin kututup rapat-rapat agar aku tak mendengar kalimat yang seperti telah kehilangan seberkas cahaya harapan itu. Kalimat-kalimat keji yang merampas semangat. Meski begitu kalimat-kalimat itu berhasil sampai menuju otakku. Untuk menghentikan Yuva saat ini seperti hal yang mustahil. Mungkin bila dikaitkan dengan komik atau film-film kepahlawanan, Yuva adalah sosok penjahat super dengan kekuatan yang tak tertandingi. Gadis macam apa? Yang hanya bermodalkan sebuah kotak elektronik portabel tapi bisa menggerakkan begitu banyak orang untuk melakukan kejahatan.
Lalu lubang-lubang keputusasaan yang berawal dari Bang Auron dan Kak Alma tadi seperti menggandakan diri. Menganga ke arahku dengan dasar yang tak kelihatan. Dan ada banyak bisikan yang mendorongku untuk segera terjun ke dalamnya. Mungkin bila aku masuk ke dalamnya, aku tak lagi harus merasakan betapa menderitanya sel-sel otakku yang kupaksa bekerja. Aku bisa tenang tak memikirkan apa pun lagi. Mungkin begitu.