Seisi kota riuh. Wajah-wajah yang biasanya berjalan dengan penuh kebanggaan itu berubah menjadi wajah-wajah depresi. Beberapa orang memegangi kepalanya yang menunduk dengan mata hampir keluar. Ada pula yang berusaha menguatkan diri dan saling dukung dengan sesamanya. Namun bagi orang-orang yang bersanding angka-angka di leher mereka, ada yang bersorak-sorai kegirangan mengelukan nama Yuva. Ada juga yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Insiden ini takkan berdampak besar bagi mereka. Pun bagi mereka yang tidak menunjukkan ekspresi apapun juga tidak terlihat mendukung perbuatan yang akan dieksekusi Yuva. Mereka hanya diam.
Dalam penyamaranku, aku masih memperhatikan raut-raut wajah yang kebingungan itu. Ada pula yang riuh untuk menghentikan kendaraan umum yang masih beroperasi. Entah itu pengendara sepeda motor, mobil, atau kendaraan umum, semua dihentikan aktivitasnya. Mereka mewaspadai adanya orang yang mencoba keluar dari kota. Kota ini tidak begitu besar. Untuk keluar dari kota ini tak memerlukan banyak waktu meskipun sedang ada di tengah kota.
Dengan kedua kakiku, aku masih melangkah cepat ke arah gedung pengawasan kota. Beberapa layar kaca yang terbentang lebar di gedung-gedung masih menayangkan pemberitaan insiden ini. Masih belum ada konfirmasi gerakan dari pemimpin kota. Sebaiknya memang begitu. Aku harus bisa lebih dahulu bicara dengan Yuva.
Satu jam atau mungkin lebih, dengan napas yang masih sulit untuk ditata, aku telah sampai di depan pintu gedung tempat Yuva berada. Dua orang berpostur besar berbaju gelap tegak berdiri di pintu masuk utama. Kudekati mereka dengan perlahan. Saat kedua pasang bola mata itu menuju ke arahku, mereka langsung bersiaga. Wajahnya dipasang mengintimidasi dan waspada.
Langkahku menolak berhenti. Sambil segera menunjukkan kalung yang tersemat di leherku, mereka berdua sedikit menurunkan penjagaan. Kukatakan pada kedua lelaki berpostur besar itu bahwa aku adalah sekutu Yuva yang datang untuk memberikan informasi penting. Mereka percaya. Untung saja mereka tak sepintar yang aku kira.
Setelah menanyakan ruangan tempat Yuva berada, aku melangkah masuk. Di dalam ada beberapa lagi pria-pria berbadan kekar dengan seragam mirip menjaga. Telunjukku pun harus berkali-kali bekerja untuk menunjukkan kaldier milikku agar mereka tak lagi curiga. Lalu saat melintasi beberapa ruangan dengan pintu terbuka, kudapati di dalam ruangan itu ada beberapa pegawai asli gedung ini yang menjadi tawanan. Di satu sisi aku kagum pada Yuva yang dalam waktu singkat bisa mengumpulkan pengikut sebanyak ini. Aku rasa ini adalah para tahanan penjara yang berhasil melarikan diri. Tetapi di lain sisi, aku pilu.
Kutemukan sebuah lift. Aku masuk dan langsung menuju lantai delapan. Di depan ruangan bernomor 811, seorang berambut gondrong sedikit acak yang sedang berjongkok di sisi kiri pintu menyuruhku berhenti. Sambil mengunyah sesuatu di dalam mulutnya – mungkin permen karet – ia menatapku dengan sinis.
Wajahnya tampak tak begitu bersahabat. Pakaiannya sedikit terbuka di bagian atas dengan celana jins yang sobek di bagian lututnya. Pria itu berdiri. Mendekatiku dan bertanya dengan nada suara yang pelan. Memang suaranya pelan, dan pertanyaan yang diajukannya juga hanya perihal tujuanku datang ke tempat ini. Tetapi tekniknya saat menanyaiku itu cukup membuat leherku tercekat. Dia seperti punya aura yang mengintimidasi. Kuatur napasku beberapa saat untuk menghilangkan gemetar. Kemudian menjawab pertanyaannya.
Tak seperti penjaga yang lain, pria ini berbeda. Ia tak serta-merta mempercayai jawaban-jawabanku. Tiap kali ia berucap, ada serpihan kejelian yang menyusup ke dalam pikiran-pikiranku. Tidak perlu berpanjang waktu untuk memastikan bahwa orang ini juga cerdas. Untuk menempatkan satu orang penjaga saja di depan ruangannya butuh suatu keberanian. Dan Yuva memutuskannya tanpa ragu.
Lantas, dengan gerakan yang cepat ia mendorongku ke dinding dengan sebelah tangan yang menekan leherku. Tenaganya sangat kuat. Sebelah tangannya yang lain – tangan kirinya – menekan kuat tangan kananku. Dengan sisa sebelah tangan kiriku, kuarahkan tinjuku berkali-kali ke wajahnya. Tetapi ia tetap bergeming dan semakin menekan leherku hingga aku tercekik.
“Gerak-gerikmu sangat bau akan kebohongan. Kau ingin memberikan informasi, atau kau ingin menghentikan Yuva?” ucapnya sedikit berbisik.
Dia sedikit mengendurkan cekikannya. Aku terbatuk. Sepasang bola matanya masih berbenturan dengan arah mataku. “Aku ingin menghentikan perbuatannya,” jawabku begitu saja. Kupikir ini adalah jawaban yang bodoh karena aku memberitahunya secara langsung. Untuk memikirkan jawaban bohong lainnya aku sudah tak bisa.
“Kenapa? Bukannya kau sama dengannya? Kalau rencana Yuva berhasil, kau bisa hidup dengan tenang, kan?”
Dia bertanya lagi dan kini aku yang menjadi bertanya-tanya pula. Orang ini seperti tertarik dengan jawabanku.
“Aku tahu. Tapi, untuk hidup dengan cara kotor seperti ini aku rasa bukanlah hal yang baik,” balasku.
“Di dunia yang serba kotor ini kau masih mengharapkan hal yang baik? Sudah berapa orang yang mengumpatmu sebagai orang yang naif?”