Yuhhuuuu... Udara segar menyambut pagi ceria. Sepedaku telah siap meluncur mengantar roti-roti lezat teman minum kopi. Semoga rezeki hari ini lebih baik dari hari kemarin. Berangkaaat...
‘Kriiing kriiing kriiing’ Bang Mahmud menoleh. Dia sedang membersihkan motornya dengan kain lap lusuh.
Dia tersenyum seraya menghampiri aku. Ah aku merasa Mahmud itu suka padaku. Kalau dia tidak suka, pastilah akan cuek saja saat melihatku.
“Karti, kok agak siang berangkatnya?” tanya Bang Mahmud.
Bang Mahmud diam-diam ternyata memperhatikan jam aku berangkat kerja. Aku tersanjung.
Mahmud satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Karti. Ya, karena semua orang memanggil aku dengan nama Iyem. Mungkin kalau dipanggil Iyem serasa memanggil pembantu. He he...
“Ah biasa juga jam segini kok Bang. Lagi pula tidak ada yang marah walau aku telatnya keterlaluan. Kan aku bos nya,” jawabku dengan iringan senyum manis.
“Benar juga ya,” kata Bang Mahmud.
“Sekaligus aku juga babu nya,” selorohku sambil terkekeh.
Bang Mahmud tertawa keras sekali.
“Bisa aja kamu Kar. Aku beli empat deh rotinya,” pinta Bang Mahmud sembari merogoh kantongnya.
“Oke boss.”
Mahmud mengulurkan selembar 5 ribu.
“Wah belum ada kembalinya bang,” ujarku.
“Tidak usah dikembalikan,” katanya sambil menggeleng.
“Beli 5 aja deh ya,” pintaku.
“Orang dirumahku cuma empat,” tolak Bang Mahmud membuat aku sedikit tak nyaman.
“Alhamdulillah, ikhlas yaaa,” kataku ceria menerima selembar uang itu.
“Ya, sangaaat ikhlas.”
“Oke, makasih ya. Aku lanjut dulu.”
“Hati-hati Kar, jangan lupa lihat kanan kiri,” pesan Bang Mahmud penuh canda.
Ah seperti anak kecil saja dinasehati seperti itu. Membalas kata-kata bang Mahmud dengan lambaian tangan saja. Lalu terus melaju ke kedai-kedai kopi langgananku.
Memang lelah itu nikmat, jika dijalani tanpa keluhan. Rejeki tak kan lari atau sembunyi. Dia ada saat kita menjemputnya. Terbukti hari ini rotiku cepat habis. Lelah terbayar sudah.
“Yem, aku mau beli rotimu seratus buah," pinta Mas Mo menyambut roda sepedaku dengan senyum yang dimanis-maniskan.
Aku tidak begitu peduli, hanya melepas keranjang kosong lalu meletakkannya di meja ruang tamu.
“Tolonglah Yem. Bos yang menyuruhku memesan roti. Kemana lagi aku harus pesan?” lanjut supir yang bernama Trimo itu.
Lalu dia begitu saja masuk.
Aku terduduk. Mas Trimo sering membelikan “Bos” nya roti buatanku. Tapi dia bilang padanya bahwa harganya seribu lima ratus. Lebih mahal lima ratus rupiah. Apakah Mas Mo ini bisa disebut koruptor?
Ah... tidak usah dipikirkan karena hanya akan menbuat hati galau.
“Yem, aku serius!” ujar Mas Mo sambil memperbaiki letak duduknya hingga kursi reotku itu berderak.