SCENE 1: VORTEX KTV - VIP ROOM 08 Jumat, 4 Oktober 2024, Pukul 23:00 WIB
Nadya benci tipe tamu yang kayak gini.
Bukan, bukan tipe yang kasar atau yang suka grepe-grepe maksa. Nadya udah kebal sama yang begitu; tinggal tepis halus atau panggil waiter buat refill es batu sebagai distraksi.
Nadya benci tipe Andrew Gunarto (28).
Andrew duduk di ujung sofa kulit sintetis itu dengan postur tegak, kemeja lengan panjangnya digulung rapi sebatas siku, nunjukin jam tangan Apple Watch seri terbaru. Dia nggak nyanyi. Dia nggak minum alkohol—cuma segelas Oolong Tea dingin.
Dia cuma... natap.
"Kamu kelihatan capek, Nad," kata Andrew pelan. Suaranya halus, sopan, khas cowok baik-baik Chindo Jogja yang diajarin tata krama sejak lahir.
Nadya senyum tipis, nuangin teh lagi ke gelas Andrew. "Namanya juga kerja, Ko. Kalau nggak capek, nggak dapet duit dong."
"Saya nggak suka liat kamu kerja berat gini," Andrew nyondongin badan dikit. "Asap rokok, alkohol, jam malam... nggak cocok sama aura kamu. Kamu itu beda, Nad. Kamu itu... pure."
Nadya nahan diri buat nggak rolling eyes. Pure ndasmu. Dia di sini jual jasa nemenin nyanyi, bukan lagi audisi jadi biarawati. Tapi Andrew adalah tamu VVIP malam ini. Marketing Manager perusahaan F&B besar. Duitnya kenceng, tipsnya dolar Singapura kalau lagi happy.
"Ko Andrew bisa aja," jawab Nadya diplomatis. "Namanya nasib, Ko."
Andrew ngeluarin HP-nya. Dia nggak buka Instagram atau WhatsApp, tapi galeri foto.
"Saya abis meeting di Plaza Indonesia tadi. Liat ini, saya inget kamu."
Dia nunjukin foto sebuah kalung emas putih dengan liontin inisial 'N' kecil yang manis.
"Bagus nggak?" tanyanya.
"Bagus, Ko. Mahal pasti," puji Nadya standar.
"Buat kamu," kata Andrew enteng. "Minggu depan saya bawain aslinya. Tapi syaratnya satu."
Nadya waspada. "Apa tuh?"
"Jangan ambil booking-an orang lain kalau saya lagi di Jakarta. Saya mau kamu exclusive handle saya aja. Saya bayar arugo (argometer/charge) kamu full seminggu walaupun saya nggak dateng. Gimana?"
Tawaran itu menggiurkan buat dompet, tapi bikin alarm di kepala Nadya bunyi kenceng. Ini bukan transaksi bisnis. Ini kepemilikan. Andrew nggak nyewa jasanya, dia mau ngebeli waktunya.
"Waduh, kalau itu saya harus tanya Mami dulu, Ko. Nggak enak sama anak lain," elak Nadya halus.
Andrew senyum. Senyum yang nggak nyampe ke mata. Matanya di balik kacamata frame tipis itu dingin, seolah lagi ngitung untung-rugi.
"Nanti saya yang ngomong sama Mami. Kamu tinggal nurut aja. Saya cuma mau jagain kamu, Nad."
Tangan Andrew bergerak, ngeraih tangan Nadya di atas meja marmer. Dia ngeremas jari Nadya pelan. Tangannya kering, hangat, tapi bikin Nadya ngerasa kayak ada lintah nempel.
"Kamu pulang jam berapa? Saya anter ya. Bahaya naik taksi online subuh-subuh."
"Nggak usah, Ko! Saya... saya udah ada langganan jemputan," bohong Nadya cepet.
"Siapa? Cowok?" Nada suara Andrew berubah dikit. Lebih tajam.
"Ojek langganan kok. Bapak-bapak tua," Nadya ngarang bebas.
Andrew ngelepasin tangan Nadya pelan-pelan, terus nyender lagi ke sofa. Dia natap layar TV yang nayangin video klip lagu Adele - All I Ask tanpa suara.
"Yaudah. Hati-hati. Tapi inget ya, Nad. Saya nggak suka kalau barang saya disentuh orang lain."
Nadya merinding. Barang.