SCENE 1: TERAS WISMA FITRI (KOS SEBELAH) Sabtu, 12 Oktober 2024, Pukul 10:00 WIB
Matahari pagi Jakarta nggak mampu ngusir dingin yang nempel di tulang Nadya. Walau dia udah mandi air anget dan pake hoodie tebal, rasa lembab dari "banjir" semalam masih kerasa nyata.
Nadya mutusin buat keluar dari Kos 24. Udaranya di dalem sana kerasa racun. Dia butuh oksigen bersih.
Dia jalan kaki ke warung kelontong kecil di sebelah kosan—tepat di depan gerbang "Wisma Fitri", kos-kosan tetangga yang kelihatan jauh lebih manusiawi; catnya cerah, banyak tanaman pot yang terawat, dan ada jemuran baju warna-warni yang kena sinar matahari.
Di teras Wisma Fitri, duduk seorang wanita paruh baya yang lagi santai baca koran Lampu Hijau sambil ngeteh.
Bu Fitri (56).
Penampilannya mencolok. Daster batik sutra, alis sulam yang on point, dan jari-jarinya penuh cincin emas. Di tangannya terselip rokok kretek filter yang dipasang di pipa gading kecil.
Nadya lagi beli roti tawar di warung pas Bu Fitri manggil.
"Eh, Neng. Anak baru di tempat Pak Marlen ya?"
Nadya nengok. "Eh, iya Bu."
"Sini Neng, duduk dulu. Muka kamu pucet amat kayak mayat formalin," Bu Fitri nepuk kursi kosong di sebelahnya.
Nadya ragu sebentar, tapi dia butuh temen ngobrol selain tembok kamarnya yang berdarah. Dia nyamperin dan duduk sopan.
"Saya Nadya, Bu."
"Ibu Fitri. Yang punya gubuk ini," Bu Fitri senyum ramah, tapi matanya tajem ngeliatin leher dan lengan Nadya. "Baru seminggu ya? Udah betah?"
"Yaa... gitu deh, Bu. Masih adaptasi," jawab Nadya diplomatis.
Bu Fitri ngehembusin asep rokoknya pelan. Baunya cengkeh manis.
"Adaptasi sama suaranya? Apa sama air-nya?"
Pertanyaan itu bikin Nadya kesedak ludah sendiri. Dia natap Bu Fitri kaget. "Ibu... tau?"
Bu Fitri ketawa kecil, tapi nggak ada lucunya. "Tau lah. Wong saya udah di sini dari jaman Pak Harto masih gagah. Sebelum itu bangunan dibeli si Marlen, saya udah liat 'isinya'."
Nadya ngerasa ini kesempatan emas. Dia harus tanya.
"Bu... sebenernya sejarah rumah itu apa sih? Kok... kok hawanya beda banget?"
Bu Fitri naruh pipanya di asbak. Ekspresinya berubah serius. Dia ngeliat kiri-kanan, mastiin nggak ada Bu Wati yang lagi mata-matain.
"Itu dulu rumah Tuan Harry Van Dijk. Orang Belanda yang keras kepala nggak mau balik pas Indonesia merdeka. Dia pedagang rempah, kaya raya, tapi galaknya minta ampun."
SCENE 2: FLASHBACK (NARRATED) - 1978 Visualisasi dalam benak Nadya saat Bu Fitri bercerita
"Dia punya anak gadis satu-satunya. Cantik, bule totok, namanya Ingrid. Umurnya sepantaran anak SMA lah waktu itu," lanjut Bu Fitri.
Nadya merinding. Mimpinya. Gadis bule di kamarnya.
"Si Ingrid ini kesepian. Ibunya udah meninggal. Bapaknya sibuk bisnis. Akhirnya dia deket sama pembantu rumah tangganya, si Danu. Anak Bandung, ganteng, rajin. Namanya anak muda, tresno jalaran soko kulino (cinta karena terbiasa)."