SCENE 1: STASIUN BOGOR - KAKI GUNUNG SALAK Minggu, 13 Oktober 2024, Pukul 09:00 WIB
Perjalanan Commuter Line dari Mangga Besar ke Bogor terasa kayak perjalanan antar dimensi. Dari Jakarta yang sumpek dan abu-abu, mereka disambut hujan gerimis dan kabut tipis di Bogor.
Nadya, Dewi, dan Yoga turun dari angkot di kaki Gunung Salak. Yoga mimpin jalan, megang secarik kertas alamat yang dia salin dari kartu nama Rani.
Jalannya nanjak, masuk ke gang sempit yang diapit kebun singkong dan pohon bambu. Suasananya tenang, tapi mencekam.
"Yakin ini tempatnya, Mas?" tanya Dewi, ngos-ngosan. "Ini mah hutan."
"Dukun beneran biasanya nggak buka praktek di ruko, Wi," jawab Yoga singkat.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah panggung kayu sederhana. Halamannya bersih, ada pohon kemuning yang wangi banget. Di teras, duduk seorang pria tua pake sarung kotak-kotak dan kaos oblong putih, lagi ngasih makan burung perkutut.
PAK GHANI (61).
Orangnya kurus, tapi urat-urat tangannya kelihatan kenceng. Janggutnya putih panjang, matanya dalem dan tajem banget, seolah bisa nguliti dosa orang cuma dengan sekali liat.
Pak Ghani nggak nengok pas mereka dateng. Dia tetep siul-siul ke burungnya.
"Pulang," kata Pak Ghani datar. "Saya udah nggak nerima tamu. Apalagi yang bawa 'ampas' Jakarta."
Yoga maju selangkah, nunduk sopan tapi tegas.
"Kami bukan tamu biasa, Pak. Kami bawa pesen dari Rani."
Gerakan tangan Pak Ghani berhenti. Dia naruh pakan burung pelan-pelan, lalu muter badannya. Matanya langsung ngunci ke arah Nadya.
Bukan ke wajah Nadya. Tapi ke dada dan perut Nadya.
"Rani udah mati, kan?" tebak Pak Ghani dingin. "Anak itu emang mentalnya tipis. Nggak kuat jadi wadah."
"Dibunuh, Pak. Sama peliharaannya Marlen," Yoga ngoreksi. "Dan sekarang giliran dia." Yoga nunjuk Nadya.
Pak Ghani natap Nadya lama. Nadya ngerasa kayak ditelanjangi. Tiba-tiba, Pak Ghani ngelempar segenggam beras kuning ke arah Nadya.
PYAR!
Pas beras itu kena baju Nadya, berasnya berasap. Jatuh ke lantai kayu, warnanya berubah jadi item gosong.
"Masya Allah..." Dewi nutup mulut kaget.
"Masuk," perintah Pak Ghani, nadanya berubah serius. "Baumu anyir banget, Nduk. Kayak mayat yang kerendem seminggu."
SCENE 2: RUANG TAMU PAK GHANI - DIAGNOSA Pukul 09:30 WIB
Ruang tamu itu isinya simpel. Karpet, beberapa kitab kuning tua, dan bau menyan arab yang wangi.
Pak Ghani nyuruh Nadya duduk di tengah karpet. Dia ngambil mangkok tanah liat isi air kembang, terus nyuruh Nadya celupin tangan.
Pas jari Nadya nyentuh air... CESSS. Air itu mendidih. Bukan panas api, tapi bergejolak kayak ada reaksi kimia. Warnanya keruh seketika.
"Marlen gila," desis Pak Ghani, geleng-geleng kepala. "Dia bukan cuma bikin perjanjian. Dia bikin 'kolam ternak'. Kamu ini bibitnya."