Kosan Bu Djoko

Sarah Teplaka
Chapter #1

Pertemuan Tak Terduga#1



Rumah megah diantara deretan rumah sederhana lainnya membuat seorang ajudan bingung, dia tak yakin dengan apa yang dia lihat saat ini. Pikiran melayang mencoba mengingat kembali apa yang diperintahkan oleh bos besar kemarin pagi.

Kemarin pagi, si ajudan buru-buru menghadap bos besar di ruang kerjanya. Bos besar sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang kosmetik dengan pangsa pasar internasional. Si ajudan berdiri tepat di dekat pintu masuk sedangkan si bos besar tengah duduk menghadap rak stik golf yang menempel di tembok.

Ruang kerja berukuran 150 kaki persegi dengan dekorasi minimalis nan elegan dengan nuansa Jawa kental karena banyak ukuran kayu jati serta lukisan pasar Beringharjo di tembok bagian kanan ruangan itu menambah kesan mewah.

"Besok pagi, kamu berangkat ke Yogya. Carikan rumah kos untuk anak saya, dia mau saya kuliahkan di Yogya saja," ucap bos besar sambil mengelap tongkat stik golf, drivers.

Ajudan bertubuh kekas itu hanya menganggukkan kepalanya lalu membalikkan badannya cepat hendak meninggalkan bos besar yang masih sibuk dengan deretan stik golf yang dia miliki.

"Eh, mau kemana kamu?" tandas bos besar saat tahu si ajudan mau pergi.

"Orang saya belum selesai ngomong, kamu mau pergi aja," tambah si bos besar.

Si ajudan buru-buru membalikkan badannya dan berjalan mendekati bosnya itu.

Bos besar, Ganesha Narendra itu menyerongkan badannya menatap ajudan yang berjalan mendekatinya seraya berkata, "Carikan tempat kos yang sederhana buat anak saya."

Ajudan itu menghentikan langkahnya lalu menganggukkan kepalanya mengerti.

"Kalau bisa yang kecil, reyot, dan mau ambruk," ucap Ganesha lengkap.

Ajudan mengerutkan dahinya, dia tak mengerti kenapa seorang bos besar yang tinggal di rumah mewah dan nyaman malah meminta tempat kos untuk anak bungsu kesayangannya, jauh dari rumah yang ditempati sekarang.

Ganesha berdiri dari duduknya, dia meletakkan kain ditangannya itu lalu berjalan mendekati ajudan itu, "Pastikan perintah saya ini, kamu lakukan dengan benar tanpa ada kesalahan sedikitpun."

Ajudan itu kembali menganggukkan kepalanya cepat, dia memberikan hormat lalu Ganesha menggosokkan tangannya perlahan dan mengisyaratkan gerakan tangan mengunci mulut. Kembali si ajudan hanya menganggukkan kepalanya aja dan pergi meninggalkan Ganesha yang kembali sibuk dengan urusan membersihkan stik golf kesayangannya itu.

Setelah mengingat semua permintaan Ganesha, si bos besar, ajudan itu memalingkan wajahnya seraya menggelengkan kepalanya, "kalau rumah ini mah pasti tuan muda mah seneng bener tapi saya menderita, dipecat sama bapaknya," si ajudan kembali menoleh ke arah rumah mewah yang jauh dari permintaan bosnya itu, "tapi kalau rumah reyot mau ambruk malah saya jadi kasihan sama tuan muda."

Helaan napas panjang malah menarik si ajudan itu dalam kebingungan tak berujung namun kakinya malah menuntunnya masuk ke rumah mewah itu dan tanpa sadar tangannya menekan bel rumah sehingga si pemilik rumah keluar.

Pemilik rumah malah tambah membuat si ajudan bingung karena sosok pemilik rumah yang ada di dalam bayangan si ajudan malah berbeda 180 derajat. Seorang perempuan paruh baya mengenakan kebaya putih dengan kemben dan jarik panjang bermotif batik Mega Mendung.

"Kamu siapa, dari mana, dan mau apa?" tanya perempuan paruh baya itu dengan cepat.

"Saya mau ketemu sama yang punya rumah, Mbah," jelas si ajudan kepada perempuan paruh baya itu.

Perempuan paruh baya itu mendelik, membuka lebar kedua matanya begitu mendengar ucapan laki-laki tambun berdiri dihadapannya saat ini.

"KAMU PANGGIL SAYA APA TADI?" tanya perempuan itu lagi seraya berkacak pinggang.

Ajudan itu kaget, dia hampir melompat begitu mendengar suaranya.

"Anak muda jaman sekarang, ora iso sopan karo wong liyo," ucap peremuan itu kesal, "kamu masuk omahku, ora ono etika toh kamu ini, panggil aku si mbah."

Ajudan itu terperanjat saat tahu kalau perempuan paruh baya ini adalah pemilik rumah mewah ini karena jujur saja di Jakarta, pemilik rumah mewah biasanya berdandan glamor dan berbeda sekali dengan yang ada dihadapannya saat ini.

"Lungo kowe saiki," ucap perempuan itu geram.

"Aduh maaf, mbah eh ibu eh nyonya," kata ajudan bingung.

Bu Djoko, pemilik rumah itu kesal dengan ucapan ajudan yang sembarangan saja memanggilnya walaupun usianya sudah tak semuda dulu namun dia tak mau dipanggil seperti itu. Ajudan langsung sujud dikaki Bu Djoko, dia tak mau diusir begitu saja setelah dia berkeliling mencari tempat kos selama sepuluh jam.

"Maafin saya ya, Bu," ucap ajudan penuh penyesalan.

Bu Djoko hanya bisa diam, mendengar penjelasan ajudan yang sudah hampir setengah jam berbicara tanpa henti itu.

"Kamu kesini mau cari tempat kos?" tanya Bu Djoko seraya menatap tajam ke arah ajudan.

Ajudan menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, "iya, bu."

Bu Djoko memperhatikan dengan seksama ajudan bertubuh tambun itu, dia tak menyangka kalau ada orang yang sudah jauh dari kata muda masih mau mengejar ilmu seperti sekarang, "kamu memang kuliah dimana dan ambil jurusan apa?"

"Saya engga kuliah, Bu. Cuma hanya ambil pendidikan satuan pengamanan saja alias satpam," jawab ajudan sambil menyeruput teh manis yang dihidangkan Bu Djoko.

Bu Djoko kini bingung, "nanti dulu, kalau kamu engga kuliah, berarti kamu mau ngekos biar dekat sama tempat kerjamu, gitu toh," mata Bu Djoko masih terus mengamat-amati ajudan bertubuh tambun itu.

Lihat selengkapnya