Kosmis dalam Kelut

adek Dwi oktaviantina
Chapter #1

Lara di Jiwa (epilog)


Perih itu begitu nyata, rasa panas yang menjalar di pipi Okta seakan membakar hingga ke dalam. Tapi, bukan hanya rasa sakit fisik yang terasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kelam. Pipi tembem Okta, yang baru saja ditampar oleh tangan suami, seolah menjadi saksi bisu atas semua penderitaan yang ditelan dalam diam. Okta tetap berdiri di sana, tak bergerak, meski dalam hati ingin sekali pingsan, ingin sekali lari dari semua ini.

Namun, tubuh Okta membeku, seperti karang yang berdiri kokoh meskipun dihantam ombak bertubi-tubi. Kakiku tak bisa melangkah, badannya terasa seberat batu yang menolak untuk menjauh dari jangkauan tangan Abang. Setiap gerakan menghindar hanya akan memperburuk keadaan. Okta sudah mengenalnya cukup lama untuk memahami pola-pola kemarahannya.

Semakin Okta mencoba menjauh, semakin suaminya mendekat dengan kekuatan yang lebih besar. Keganasannya tak terduga. Jadi, Okta memilih diam, bertahan dalam ketakutan yang menjerat tubuhku, seperti jaring yang tak terlihat. Okta tidak menangis. Air mata hanyalah pemantik yang membuat tangan itu bergerak lebih cepat, lebih keras.

Air mata, di matanya, adalah bukti kekalahan Okta, sesuatu yang dinikmat oleh Bang Oling. Setiap tetes air mata seakan memberinya kenikmatan, melihat Okta dalam terpuruk dan ketakutan. Sudah terlalu sering dirasakannya. Sudah terlalu lama belajar untuk menahan diri, untuk menyembunyikan rasa sakit di balik wajah yang diam, meski di dalam hati ada badai yang tak pernah berhenti.

Perih di pipi ini mungkin akan hilang dalam beberapa waktu, tapi luka di dalam hati ini, Okta tahu, akan terus mengendap, membekas di setiap sudut jiwaku.

Susah payah Okta mencoba menghindari tatapan matanya. Rasanya seperti berusaha kabur dari predator yang siap menerkam mangsanya. Namun, ketika pandangan akhirnya bertemu, seolah dunia berhenti sejenak. "Plaaak..." Suara keras tangan Abang Oling bertemu dengan pipi, menghantam tulang wajah Okta hingga kepala terlempar ke samping. Pandangan mata mulai buram, tubuh bergoyang tak seimbang, dan telinga berdengung seperti ribuan lebah yang memenuhi rongga kepala.

Belum selesai dengan satu tamparan, rasa sakitnya masih menggema di wajah, pipi memerah dan membengkak, namun tak sempat memikirkan itu. Sebelum Okta bisa mengambil napas, "Plaaak!" Tamparan kedua menyusul, lalu yang ketiga, dan terus berlanjut. Matanya semakin liar, sorot kemarahan yang mengerikan terpancar dengan kekuatan yang menakutkan. Tamparan-tamparan itu datang silih berganti, seperti ombak yang tak kenal lelah menghantam karang. Kepala seperti diombang-ambingkan, setiap tamparan membuat dunia berputar lebih cepat.

Okta berhenti menghitung setelah tamparan kelima belas. Semuanya menjadi kabur. Rasa pusing menjalar, seolah ada palu besar yang menghantam bagian belakang kepala. Pipi terasa seperti terbakar, bengkak dan panas, tapi tidak ada darah. Tidak ada luka yang terlihat. Tubuh Okta begitu kuat, tegar, meskipun dalam hatinya ingin sekali merasakan kelemahan, ingin sekali terjatuh dan tak bangun lagi. Setidaknya, jika terluka parah atau pingsan, dia punya alasan untuk berhenti merasakan tamparan berikutnya.

Namun tidak. Tubuh tetap bertahan. Hanya pipi yang memerah, tanpa luka yang terlihat. Setiap tamparan, meski menyakitkan, tak pernah cukup kuat untuk membuat pingsan. Tetap berdiri di sana, menunggu rasa sakit yang lebih besar, namun tak kunjung datang. Semakin aku bertahan, semakin kejam dia menjadi, seolah rasa sakit adalah bahan bakar bagi kemarahannya.

Di saat itu, segala cinta yang pernah tertanam dalam hati Okta untuk Bang Oling—rasa kasih, sayang, semua yang pernah dipuja tentangnya—runtuh seketika. Runtuh seperti istana pasir yang disapu ombak ganas. Dalam satu malam, dalam satu deretan tamparan, semuanya hilang. Tak tersisa sedikit pun.

"Ini hukuman," suara Bang Oling terdengar lantang, seolah memecah keheningan malam yang menyaksikan kekejaman. "Hukuman karena kamu berani berbicara lugas dan keras kepada suamimu. Ini pelajaran agar kamu tidak mengulanginya sepanjang sisa hidupmu!"

Okta menatapnya dengan mata yang masih buram. Kata-katanya terasa seperti belati yang menusuk jantung, lebih tajam dari tamparannya. Semua yang pernah dipikirkan tentang cinta, tentang pernikahan, tentang menjadi istri, seolah diputarbalikkan oleh kenyataan di hadapan.

Okta berdiri di sana, tak berdaya secara fisik meskipun tubuh tidak menunjukkan tanda-tanda luka serius. Tapi di dalam dirinya, ada kerusakan yang tak terlihat, luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pipi memerah. Rasanya, bagian diri yang paling rapuh hancur berantakan malam itu. Yang tersisa hanyalah kehampaan.

Okta tak tahu berapa lama aku bisa terus berdiri seperti ini, sekuat apa aku harus bertahan. Tapi satu hal yang pasti, cinta yang pernah dipertahankan mati di antara tamparan itu, tak mungkin kembali seperti semula.

Hari Minggu pagi itu seharusnya menjadi hari yang biasa. Hari saat Okta bisa beristirahat sejenak dari rutinitas sehari-hari, merenggangkan otot-otot yang kaku setelah seminggu bekerja tanpa henti. Namun, Okta tak pernah menyangka, hari itu akan berubah menjadi mimpi buruk, menjadi hari sial—seperti hari-hari sebelumnya ketika Abang Oling tak bisa menahan amarahnya, atau ketika sesuatu yang sepele memicu gunung berapi dalam dirinya untuk meledak.

Pagi itu, Okta merasa sangat lelah. Tubuhnya serasa terlalu berat untuk sekadar bergerak ke dapur. Suara-suara dari dapur dan bunyi panci yang biasa menemaniku seakan menjauh hari itu, karena kelelahan telah merenggut semangat. Okta tak sanggup memasak, hanya ingin sejenak duduk dan menarik napas panjang. Okta membiarkan suara kecil dalam hati berkata, "Nanti saja. Mungkin setelah istirahat sebentar, aku akan memasak."

Namun, Abang Oling yang baru saja bangun dengan suasana hati buruknya, langsung merasakan ada yang tidak beres. Dia mendatangi ruang tamu tempat Okta duduk, napasnya mulai berat seperti gelombang besar yang akan menghantam.

"Kenapa kamu belum masak?" tanyanya dengan nada dingin.

Lihat selengkapnya