Pada suatu pagi yang cerah di Kerajaan Kediri, Dewi Sekartaji berjalan-jalan di kebun istana yang dipenuhi dengan tanaman sayur-sayuran segar. Senyumnya begitu ceria, langkahnya ringan seperti embun yang menari di atas daun-daun. Di kebun, berbagai sayuran tumbuh subur, dari terong besar hingga tomat merah menyala, menambah keindahan taman kerajaan yang sudah memukau.
Dewi Sekartaji ditemani oleh pelayannya yang setia, Enthit, seorang wanita paruh baya yang selalu ceria. Enthit dikenal karena suaranya yang merdu dan sering menjawab pertanyaan dengan bernyanyi. Pagi itu, Dewi Sekartaji merasa ingin bercanda, menguji kesetiaan Enthit dalam melayani sambil bernyanyi.
Dewi Sekartaji memetik sebuah terong besar, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan memandang Enthit dengan senyuman yang penuh canda. “Enthit, terong sing gede kuwi wekke sopo, Enthit (Enthit, terong yang besar itu punya siapa, Enthit) ?” tanya Dewi Sekartaji dengan nada yang riang, suaranya hampir seperti bernyanyi.
Enthit yang sedang memetik cabai dari tanaman lain, menoleh dengan cepat. Ia tersenyum lebar dan langsung menjawab dengan nyanyian lembut, "Iku wekmu, yo nduk yo. Pek en kabeh yo nduk yo." (Ini punyamu ya, Nak, ya. Milikmu semua ya, Nak, ya). Suaranya mengalun indah di antara angin pagi yang sejuk.
Dewi Sekartaji tertawa kecil, senang mendengar Enthit membalas pertanyaannya dengan cara yang begitu menghibur. Tapi dia belum selesai. Sekartaji lalu melihat ke arah tanaman tomat yang berbuah lebat, tomatnya besar-besar dan tampak sangat segar.
“Enthit, tomat gede-gede kuwi wekke sopo, Enthit (Enthit, tomat yang besar-besar itu punya siapa, Enthit)?” tanya Dewi Sekartaji lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah tomat merah yang tampak menggoda.
Enthit tidak ragu-ragu, sambil tersenyum ia mengulang jawabannya dengan nada yang sama, "Iku wekmu, yo nduk yo. Pek en kabeh yo nduk yo.” (Itu punyamu, Ya Nak,Ya. Miliki semua ya, Anak. "
Dewi Sekartaji tertawa lagi, lebih keras kali ini. “Kowe iki, Enthit, yen aku takon opo wae, jawabane mesti koyok ngunu terus! Ora ganti-ganti!” (Kamu ini, Enthit, setiap aku tanya apa saja, jawabannya selalu begitu! Nggak pernah berubah!)
Enthit tertawa kecil, kemudian mendekat kepada Dewi Sekartaji. "Yo, nduk, kabeh ing kebun iki sejatine kagem kowe. Kabeh sayuran iki ditandur kanggo ratu sing ayu lan mulya kaya kowe. (Ya, Nak. Semua ini di kebun senyatanya kepunyaanmu. Kebun sayur ini ditanam untuk ratu mulia)" jawab Enthit dengan nada sedikit lebih serius tapi tetap lembut.
Dewi Sekartaji berhenti tertawa, senyumnya berubah menjadi lebih hangat.
"Aku seneng yen kebun iki bisa menehi rejeki lan panganan sing sehat kanggo kabeh wong ing istana (Aku senang jika kebun ini bisa memenuhi rejeki dan makanan yang sehat untuk semua orang di istana)” ujarnya lembut.
Enthit mengangguk, "Bener, nduk. Ing kene ora mung panganan, nanging uga kasenengan lan kedamaian kanggo awakmu. Aku ngerti, kadang ratu perlu wektu kanggo mlaku-mlaku” (benar, Nak. Di sini bukan hanya makanan, juga dengan kesenangan dan kedamaian untukmu. Aku mengerti, kadang ratu perlu berjalan-jalan."
Sekartaji menatap sayuran-sayuran yang tumbuh subur di sekelilingnya. Dia merasakan kehangatan dan kedamaian yang selalu ada saat dia berada di kebun ini, tempat di mana segala sesuatu tumbuh dengan cinta dan perhatian.
“Kowe bener, Enthit. Kebun iki ora mung ngasilake panganan. Kene aku bisa ngrasakke rasa tentrem, lan kowe uga menehi aku rasa seneng karo guyonanmu (Kamu benar, Enthit. Kebun ini bukan hanya menghasilkan makanan. Kita aku bisa merasakan rasa tenteram dan kamu juga memberikan rasa senang dengan candaanmu),” kata Dewi Sekartaji dengan tulus.
Enthit tersenyum, "Matur nuwun, Nduk. Yen ngene iki, urip sing sederhana nanging sarwa cukup iki sing ndadekke kebahagiaan." (terima kasih, Anak. Ya begini ini, hidup yang sederhana serta cukup yang memberikan kebahagiaan).
Keduanya terus berjalan-jalan di kebun, tertawa dan bercanda. Dewi Sekartaji merasa hari itu penuh dengan kebahagiaan sederhana, ditemani oleh Enthit yang setia dan ceria. Angin pagi yang segar berhembus, membawa suara tawa mereka melayang ke udara, menghiasi suasana kebun yang damai.
Adegan tersebut adalah cerita Joko Tingkir dengan Dewi Sekartaji selalu terngiang-ngiang di pikiran Okta. Dongeng ini adlaah dongeng yang diceritakan oleh neneknya, nenek Marotib. Nukilan adegan ini juga pernah diputar sebagai iklan pada radio pada tahun 90-an saat dirinya masih kecil. Dongeng nenek Marotib tentang kisah putri adalah kenangan serta cinta kasih yang dirasakan Okta saat kecil.
Pada kisaran tahun 2009, Okta baru saja menyelesaikan pendidikannya dengan nilai yang gemilang, memandang ke luar jendela rumah neneknya di sebuah desa di Kabupaten Kediri. Pemandangan sawah yang terbentang luas dan suasana pedesaan yang tenang jelas berbeda dengan hiruk-pikuk kawasan industri di Gresik, tempat di mana dia dibesarkan. Pindah ke Kediri bukanlah bagian dari rencana hidupnya. Setelah lulus, Okta berangan-angan bekerja di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, meniti karier yang sesuai dengan pendidikan yang telah ia tempuh. Namun, realitas hidup sering kali membawa kejutan.
“Okta, kamu yang terbaik untuk menjaga nenek. Ibu dan ayahmu tidak bisa meninggalkan Gresik. Hanya kamu yang bisa kami andalkan,” kata Kristina, ibunya, saat Okta dihadapkan pada pilihan itu.
Di desa Ngletih, nenek Marotib dalam keadaan lumpuh akibat stroke terbaring di kamar yang penuh kenangan. Penyakit diabetes yang diderita sang nenek semakin memperburuk kondisinya. Perawatan harus dilakukan di rumah, dengan terapi rutin dan obat-obatan. Okta mengerti bahwa merawat nenek bukan sekadar tugas, tetapi juga bentuk kasih sayang yang tak bisa diabaikan.
Suatu pagi, saat Okta sedang menyiapkan bubur untuk sarapan neneknya, terdengar suara pelan dari kamar.