Saat itu, televisi telah hadir namun tidak mampu menyaingi pesona cerita nenek, kami sering lebih memilih mendengarkan dongeng nenek daripada menonton acara di layar kaca. Televisi mungkin menawarkan hiburan modern, tapi bagi Okta, suara lembut nenek yang mendongeng adalah sesuatu yang tak tergantikan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya menghidupkan imajinasi kami jauh lebih hidup daripada gambar di layar.
Nenek Marotib adalah sosok yang sederhana. Bersama kakek Hadi, mereka hidup tanpa berlebihan. Meskipun begitu, setiap hari terasa kaya oleh cinta dan kebahagiaan. Ada pemasukan dari anak-anaknya, termasuk dari Ibu Kristina, Pak Dhe Wiryo, Bibi Erlina, Paman Farid, dan Bibi Wahyu. Namun, meski uang tidak selalu melimpah, nenek selalu berhasil menyulap bahan-bahan sederhana menjadi makanan yang begitu lezat. Salah satu momen yang paling membekas dalam ingatan adalah ketika nenek memasak jamur yang kami kumpulkan sendiri.
Suatu hari, aku dan sepupuku Adi memutuskan untuk berburu jamur. Hari itu cerah, dan semangat kami membara. Dengan kantong-kantong kain di tangan, kami berkeliling dari satu kebun ke kebun lainnya, mencari jamur yang tumbuh di batang kelapa yang sudah menua. Jamur-jamur kecil dengan topi lebar itu tumbuh di sela-sela batang kelapa yang hampir lapuk, tersembunyi di bawah daun-daun kering.
“Di sini, Okta! Ada banyak jamur di sini!” seru Adi sambil berjongkok di dekat batang kelapa yang hampir rebah.
Aku segera menghampiri, kantong kainku sudah mulai penuh dengan jamur. “Wah, iya banyak sekali! Ini pasti enak kalau dimasak nenek.”
Kami menghabiskan berjam-jam berkeliling, tanpa lelah meskipun kaki mulai terasa pegal. Setiap kali menemukan jamur yang bisa dimakan, hati kami terasa puas. Ada kesenangan tersendiri dalam berburu jamur di alam bebas. Rasanya seperti petualangan besar, dan lebih dari itu, kami tahu nenek akan membuatkan sesuatu yang lezat dari hasil kerja keras kami.
Setelah seharian penuh berburu, kami pulang ke rumah nenek dengan kantong penuh. Mata nenek berbinar saat melihat hasil jerih payah kami. “Wah, kalian hebat sekali. Jamurnya banyak. Nanti nenek masakkan ya,” katanya dengan senyum penuh kebanggaan.
Okta dan Adi saling tersenyum, merasakan kebanggaan tersendiri. Dalam usia muda kami, ada kebahagiaan yang luar biasa ketika hasil kerja keras dihargai, apalagi ketika itu diubah menjadi hidangan yang akan dinikmati bersama.
Nenek langsung ke dapur, dengan lincah menyiapkan bumbu. Tidak perlu bumbu yang rumit, hanya garam, bawang merah, dan bawang putih. Namun, di tangan nenek, bahan-bahan sederhana itu berubah menjadi sesuatu yang sangat istimewa. Aku dan Adi duduk di dapur, menyaksikan nenek bekerja. Aroma bawang yang ditumis segera memenuhi udara, membuat perut kami keroncongan.
“Baunya enak sekali, Nek,” ujar Adi sambil menelan ludah.
Nenek hanya tertawa kecil, tangannya cekatan mengaduk jamur yang mulai berubah warna di atas wajan. “Tunggu sebentar lagi, ya. Nanti kalian bisa makan sepuasnya.”