Rumah kakek Hadi dan nenek Marotib berdiri kokoh di tengah hamparan kebun yang subur. Kebun itu bukan hanya sekadar tanah, tetapi tempat segala hasil bumi tumbuh dan menjadi sumber penghidupan mereka. Kakek Hadi, seorang petani yang tak kenal lelah, setiap hari merawat tanaman-tanaman yang ia tanam dengan tangan penuh ketelatenan. Pisang, singkong, cabai, terong, dan tomat menghiasi deretan tanaman yang tumbuh subur di lahan luas di belakang rumah mereka.
Setiap pagi, kakek Hadi bangun sebelum fajar, mengenakan caping bambu usangnya, dan berjalan ke kebun dengan cangkul di tangan. "Tanaman ini tak akan tumbuh tanpa perhatian, harus disirami dengan cinta dan kesabaran," sering kali kakek berkata dengan nada lembut saat mulai mengolah tanah.
Di sekeliling rumah, berbagai pohon buah tumbuh rimbun. Ada pohon mangga yang buahnya menggantung manis setiap musim berbuah. Di sudut lain, pohon belimbing wuluh dengan buah-buahnya yang kecil dan asam menggantung seperti lampu-lampu kecil hijau di antara daun-daun rimbun. Pohon rambutan di sudut halaman, dengan dahan-dahan penuh buah merah, menjadi surga bagi cucu-cucu yang senang memanjatnya untuk memetik buah.
"Ayo, panjat pohon rambutan itu, Okta! Buahnya sudah matang!" seru Adi, yang sering menjadi pemimpin dalam petualangan memanjat pohon bersama saudara-saudaranya.
Okta tertawa, berlari mengejar Adi yang sudah setengah jalan menuju pohon rambutan. Mereka berlomba siapa yang bisa memetik buah terbanyak, meskipun akhirnya sebagian besar rambutan mereka makan di atas pohon, tak sempat sampai ke keranjang yang disiapkan nenek.
Di bagian belakang rumah, selain kebun sayur dan buah, terdapat hutan kecil yang asri, di mana berbagai pohon liar tumbuh. Hutan ini menjadi tempat bermain yang penuh rahasia bagi anak-anak. Mereka sering kali menjelajahi rerimbunan bambu, mencari capung atau kumbang, atau sekadar menghirup aroma segar dari tanah yang lembap.
Namun, di sudut kebun, ada satu tempat yang meski kecil, memiliki cerita tersendiri. Jamban sederhana yang terletak dekat rerimbunan bambu, hanya dipisahkan oleh kain sebagai penutup. Jamban itu digunakan oleh keluarga kakek Hadi dan nenek, tetapi juga sering kali dipakai oleh para tetangga yang kebetulan melewati rumah mereka. Meski sederhana, jamban itu selalu bersih dan terawat. Okta selalu membawa air segar di ember besar untuk digunakan setelah buang hajat.
Hidup di desa memang sederhana, tetapi penuh kehangatan. Hasil kebun kakek Hadi dijual ke pasar untuk menambah pemasukan sehari-hari. Setiap kali ada panen pisang atau singkong, nenek akan mengumpulkannya dalam bakul dan kakek akan membawanya dengan sepeda tua ke pasar terdekat.
Ketika kakek kembali dari pasar, cucu-cucunya sering berlari menyambutnya di gerbang rumah, bertanya, “Kakek bawa apa dari pasar?”
Kakek hanya tertawa dan memberikan mereka sedikit permen atau jajanan pasar yang ia beli dengan uang hasil penjualan kebun. Meskipun pendapatan mereka tak besar, kakek dan nenek selalu hidup dalam kecukupan dan kehangatan.
Kakek Hadi selalu sibuk di kebun, mencangkul tanah dengan tekun, sementara dedaunan pandan, jeruk kitkit, dan tanaman obat lainnya tumbuh subur di bawah perawatan tangan-tangannya yang kasar namun penuh kasih. Setiap hari, kakek merawat kebun seperti bagian dari hidupnya. Di usianya yang sudah menginjak 60-an, tak pernah terlihat lelah di wajahnya. “Bertanam itu seperti berdoa,” katanya suatu ketika kepada Okta. “Kalau kita merawatnya dengan baik, Tuhan akan beri hasil yang tak terduga.”
Di sisi lain, nenek Marotib, sebelum tubuhnya digerogoti oleh penyakit, memiliki kecintaan yang mendalam terhadap bunga. Baginya, taman yang penuh dengan bunga-bunga cantik adalah sumber kebahagiaan tersendiri. Meski di desa, menanam bunga dianggap berlebihan oleh beberapa orang, nenek tetap teguh pada keputusannya. Bunga melati, soka, kantil, dahlia, mawar—semua ditanamnya dengan hati-hati.
“Kenapa nenek suka bunga? Padahal kan nggak bisa dimakan?” tanya Okta suatu hari.
Nenek hanya tersenyum dan menjawab lembut, “Bunga itu bukan untuk dimakan, tapi untuk dinikmati. Melihatnya saja sudah bikin hati tenang.”
Bunga melati adalah favorit nenek. Setiap kali panen melati, ia akan menambahkannya ke dalam teh, memberikan aroma harum yang khas. Okta masih ingat saat nenek tinggal di kecamatan Rembang, menanam mawar merah liar yang tumbuh merambat di dinding halaman. Mawar itu mekar liar, tetapi indah.
Saat Okta berusia empat tahun, ada satu kenangan yang tak pernah dilupakan. Nenek Marotib, pada suatu sore yang hangat, sedang sibuk memanaskan air di dapur. Ia berjalan ke taman, memetik beberapa bunga mawar merah yang mekar indah di dinding halaman. Okta yang kecil saat itu hanya memperhatikan dari kejauhan, tidak tahu apa yang sedang nenek lakukan.
"Nak, ayo sini," panggil nenek dengan suara lembut.