Saat Okta membuka pintu, ia terkejut melihat Bibi Desi berdiri di ambang pintu. Dulu, Bibi Desi adalah sosok yang akrab, dan wajahnya yang canggung tampak familiar. Dengan senyuman hangat, Bibi Desi menyapa, "Halo, Okta. Apa kabar?"
"Selamat datang, Bibi Desi," jawab Okta dengan ramah, menyingkirkan kesan terkejut. "Senang sekali melihat Bibi di sini."
Bibi Desi melangkah masuk, membawa sebuah keranjang berisi jamu brotowali yang tampaknya segar. "Ini untuk nenek, semoga bisa membantu. Aku juga ingin menyapa semua di sini dan mendoakan kesembuhan nenek."
Kakek Hadi dan nenek Marotib, meski dalam kondisi yang kurang baik, tampak tersenyum melihat kedatangan Bibi Desi. “Terima kasih, Bibi Desi. Ini sangat berarti bagi kami,” ujar Okta sambil mempersilakan Bibi Desi duduk di kursi yang tersedia.
Sementara Bibi Desi duduk, Okta mulai membantu menyiapkan jamu brotowali untuk nenek. Adi, yang baru saja muncul, tersenyum lebar ketika melihat Bibi Desi. "Bibi Desi! Wah, lama tidak bertemu," ucap Adi, mencoba mengingat kembali kenangan masa kecil mereka.
“Adi, kamu di sini lagi? Apa kabar?” tanya Bibi Desi, sambil memandang Adi dengan rasa suka cita. "Apa kamu datang untuk mengunjungi nenek?"
“Ya, Bibi. Aku baru saja kembali. Ada beberapa urusan dan kebetulan ada waktu untuk singgah,” jawab Adi sambil duduk di samping Bibi Desi.
Obrolan hangat segera mengisi ruang, dan Bibi Desi mulai bercerita tentang anak-anaknya. "Rifan, anak pertama, sekarang sibuk dengan pekerjaannya. Kak Fitri dan Eni juga sibuk, tapi mereka sering pulang saat libur. Rumah kami di dekat pasar Gondang, di kontrakan milik Pak Yajid."
Okta tersenyum mendengar cerita tentang masa lalu. "Dulu aku sering bermain di rumah Bibi, terutama di taman yang Pak Wawan buat. Ingat betul bagaimana taman itu penuh dengan bentuk-bentuk unik dan tanaman yang indah."
Bibi Desi tertawa. "Ah, Pak Wawan memang sangat kreatif. Dia selalu ingin membuat segala sesuatunya menarik. Bahkan pintu kecil untuk kucing itu masih ada sampai sekarang."
Sementara itu, Adi yang sudah mulai berbaur dengan suasana, tidak bisa menahan tawanya melihat Okta yang terus-menerus menyiapkan makanan. “Sebenarnya, aku datang juga untuk melihat bagaimana keadaan nenek. Kadang-kadang, rasanya seperti kembali ke masa lalu saat kita masih kecil. Ada banyak kenangan indah di sini.”
Okta memandang Adi, menyadari bahwa meskipun dia sering menjahili masa kecilnya, Adi tetap memiliki tempat khusus dalam ingatannya. “Iya, Adi. Kadang, aku merasa seperti kita masih anak-anak, dan kenangan itu masih hidup di sini.”
Bibi Desi, yang melihat momen ini, turut merasakan kehangatan dari pertemuan tersebut. “Kalian semua adalah bagian dari masa lalu yang indah. Meskipun kita semua punya cerita masing-masing, tetapi yang penting adalah kita selalu ada untuk satu sama lain.”
Setelah semua siap, Okta segera melayani jamu brotowali untuk nenek dan kakek, sementara Adi dan Bibi Desi terus berbicara tentang kehidupan mereka dan kenangan lama.
Okta mengingat betapa indahnya masa kecilnya saat bermain di rumah Bibi Desi. Rumah itu bagaikan sebuah taman ajaib yang penuh warna dan fantasi. Pak Wawan, suami Bibi Desi, adalah seorang seniman sejati. Ia mencurahkan seluruh kreativitasnya untuk menciptakan sebuah halaman yang tak biasa. Taman di rumah Bibi Desi mirip dengan halaman Alice In Wonderland, dengan patung-patung hewan dari semen yang ia buat sendiri dan pintu kecil di bagian bawah yang hanya bisa dilewati kucing. Bunga-bunga yang mekar penuh warna dan tanaman-tanaman unik menghiasi setiap sudut, menciptakan suasana yang menyenangkan dan magis.
Namun, karena masalah perekonomian, rumah yang penuh kenangan itu harus dijual. Keluarga Bibi Desi terpaksa berpindah ke kontrakan lain yang lebih sederhana. Pada kunjungannya kali ini, Bibi Desi tampak penuh beban. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentang kondisi anaknya, Rifan, yang semakin mengkhawatirkan.
“Rifan sekarang ini sering sekali berdiam diri di tempat gelap,” ujar Bibi Desi dengan nada cemas. “Dia termenung dan enggan beraktivitas. Ibu sudah mencoba mengajaknya, tapi dia tetap tidak mau. Aku takut dia seperti dulu lagi.”
“Seperti dulu? Maksud Bibi bagaimana?” tanya Okta, penasaran.