Ruangan gelap itu disinari oleh lampu suram berwarna jingga yang mengeluarkan cahaya redup. Suasana malam semakin dingin, dan bunyi cicitan tikus sesekali terdengar dari balik dinding. Kamar Mas Rifan tampak penuh dengan benda-benda yang tidak teratur. Kardus besar yang berisi mainan lama dan beberapa selimut terjatuh dan berserakan di lantai. Mas Rifan, yang tampak terbaring telentang di ranjang, terlihat seperti tidak bergerak sama sekali, hanya dengan tatapan mata kosong dan tangan yang lemas.
Bibi Desi, yang sudah lama mengalami kejadian aneh ini, berseru dengan suara lantang, “Sudah, jangan ganggu Rifan terus. Kamu balik sana!” Suaranya bergetar, seolah mencoba mengusir sesuatu yang tidak terlihat.
Okta dan Iyan, yang baru saja memasuki kamar, tercengang melihat pemandangan tersebut. Mereka bisa merasakan hawa dingin dan suasana yang mencekam. Mbak Fitri dan Mbak Eni tampak lebih tenang, seolah sudah terbiasa dengan kondisi ini. Mereka dengan santai membereskan kardus yang terjatuh, memindahkannya ke tempat yang lebih aman.
“Kardusnya jangan ditaruh atas lagi. Sudah ditaruh bawah saja,” saran Mbak Fitri sambil mencari tempat yang lebih cocok untuk meletakkan kardus.
“Ya beginilah. Setiap hari,” tukas Mbak Eni dengan nada yang sedikit lesu, sambil terus memantau kondisi Mas Rifan.
Mas Rifan tampak tenang, namun ada sesuatu yang terasa tidak wajar. Tatapannya kosong, dan senyumannya saat disuapi tampak aneh bagi Okta dan Iyan. Mereka merasa ada yang mengganjal dengan tingkah lakunya.
Mbak Fitri mengajak Mas Rifan untuk makan, “Mas, makan yuk!” Namun, Mas Rifan hanya berdiam diri dan tidak memberikan respons. Bibi Desi mencoba menawarkan, “Mau disuapin ibu?”
Mas Rifan mengangguk dengan senyuman senang, tapi ekspresinya tetap tidak menunjukkan kehangatan seperti yang biasanya. Bibi Desi, dengan penuh kesabaran, mengambilkan makanan untuk Mas Rifan dan berusaha membuatnya nyaman.
Setelah meninggalkan kamar Mas Rifan, Okta dan Iyan kembali ke ruang tengah. Bibi Desi memasukkan piring kotor ke kamar mandi dan sumur yang terletak di bagian belakang rumah. Suara air yang mengalir dari sumur dan desiran angin di semak-semak memberikan suasana yang semakin mencekam.
Di ruang tengah, Mbak Fitri mulai bercerita dengan suara berbisik, “Ya, seperti itu hampir tiap malam. Ada suara-suara benda jatuh. Kadang dicari ada memang yang jatuh. Seringnya hanya ada suara saja.”
Mbak Eni menambahkan, “Aku beraninya kalau ke belakang selalu mencari teman. Tidak berani sendiri. Yang berani sendiri ke belakang hanya bapak, ibu, dan Mas Rifan.”
Okta merasa semakin penasaran, “Mas Rifan, memang seperti itu? Tadi agak ganjil senyum ingin disuapin. Dia kan sudah 18 tahun.”