Siang itu, matahari bersinar cerah, dan angin sepoi-sepoi menyejukkan suasana di warung depan rumah. Okta, Iyan, Mbak Fitri, dan Mbak Eni duduk melingkar, menikmati hidangan sambal tumpang yang Okta buat sendiri. Sambal tumpang, kuliner khas Jawa Timur bagian selatan, adalah hidangan dengan bahan dasar tempe busuk yang telah difermentasi selama lima hari hingga satu minggu. Meskipun bau tempe busuk mungkin membuat orang yang tidak terbiasa merasa mual, rasa sambal tumpang ternyata sangat memikat bagi mereka yang menyukainya. Konon, sambal tumpang tanpa tempe busuk tidak akan seotentik yang asli.
Sambil menikmati sambal tumpang dengan kerupuk dan peyek, serta menyegarkan diri dengan es blewah yang menyegarkan, Okta menyadari betapa berartinya momen ini bagi mereka semua. Setelah beberapa saat, Okta membuka pembicaraan, merasa penasaran dengan kejadian semalam yang belum sepenuhnya terpecahkan.
“Jadi malam itu, ada apa, Mbak?” Okta memulai percakapan dengan lembut, berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi di rumah Bibi Desi.
Mbak Fitri, yang sedang sibuk mengepang rambutnya, berhenti sejenak dan menatap Okta dengan tatapan yang penuh makna. “Ya, begitulah rumah kami sejak awal ditempati. Saya dan Mbak Eni sudah terbiasa dengan situasi ini. Yang paling terganggu pastinya ibu, bapak, dan Mas Rifan. Kami tidak bisa melihat bentuknya secara langsung, tapi gangguan terbesar pada ibu dan bapak. Mereka yang paling sering mengalami masalah ini.”
Mbak Eni menambahkan dengan nada yang lebih serius, “Sudah dibawa ke mana-mana dan banyak pula ustadz yang datang ke rumah untuk membersihkan. Tapi entah kenapa, gangguan-gangguan ini terus berlanjut.”
Mendengar penjelasan ini, Okta merasa prihatin. “Bibi Desi tampak sangat lelah,” katanya dengan penuh empati.
“Setiap malam selalu seperti itu,” lanjut Mbak Eni, “Ada suara yang tidak jelas asalnya. Yang sering terjadi adalah saat kami beberes. Ada rambut panjang yang tiba-tiba muncul. Di rumah kami, tidak ada yang memiliki rambut sepanjang itu.”
Okta merasa ada yang janggal dan teringat mimpinya semalam. “Aku semalam mimpi. Ada seseorang yang rambutnya panjang, dan bersuara aneh,” katanya, berbisik kepada sepupunya, Iyan, yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mbak Fitri memandang Okta dengan tatapan serius. “Okta, saranku jangan. Jangan ceritakan ke siapapun. Anggap tidak ada yang terjadi. Nanti, dia akan mengikutimu,” nasihatnya dengan suara pelan, seolah ingin menjaga Okta dari sesuatu yang lebih buruk.
Saat itu, Iyan, yang sejak tadi bermain kelereng, tiba-tiba berkata, “Kak, semalam saat Iyan pulang. Iyan kan pulang sendirian, tapi di perempatan ada perempuan yang seperti mbak Okta ceritakan.”
Okta yang mendengar cerita adiknya merasa bulu kuduknya meremang. Rasa khawatir muncul di benaknya. “Terus? Kamu tidak takut?” Tanya Mbak Fitri sambil menggoda adiknya.
Iyan mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan ekspresi cemas. “Iyan takut, Kak. Perempuan itu berdiri di tepi jalan, dan Iyan cepat-cepat pulang.”
Suasana menjadi tegang, dengan masing-masing dari mereka merasa semakin gelisah. Momen ini seperti membangkitkan kembali perasaan ketidakpastian yang menghantui mereka sejak awal kedatangan di rumah Bibi Desi. Okta merasakan beban berat di dadanya, mengetahui bahwa apa yang mereka hadapi mungkin lebih besar dari yang bisa mereka tangani.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Mbak Fitri akhirnya memecah suasana dengan nada lebih lembut. “Kami sudah berusaha sebaik mungkin, dan kami juga berharap semuanya bisa cepat berlalu. Tapi ingatlah, kalau ada yang tidak nyaman, jangan ragu untuk berbicara. Kita harus saling menjaga dan mendukung.”