Pagi itu, udara segar menyelimuti desa Ngletih. Okta tengah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk kakek dan neneknya ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum—Kang Bayu.
"Piye kabare, Kang (bagaimana kabarmu, Kak)!" Okta menjawab dengan semangat.
"Apik, Peh*, Okta. Lagi sibuk, ya?" tanya Kang Bayu dari seberang telepon, suaranya terdengar hangat.
"Enggak kok, Kang. Ada apa?" jawab Okta sambil membersihkan tangannya dari tepung yang ia gunakan untuk membuat kue cucur.
"Kami mau ambil data penelitian di Gua Selomangleng. Kamu mau ikut? Berangkat jam sepuluh. Gimana?" tanya Kang Bayu.
Gua Selomangleng. Nama yang langsung membuat hati Okta berdesir. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia mengunjungi tempat itu, dan rasanya seperti memanggil kenangan lama yang penuh misteri dan ketenangan.
"Ikut, Kang! Sudah lama banget aku enggak ke sana. Pasti seru!" jawab Okta penuh antusias.
"Bagus! Nanti kita ketemu di sana. Jangan telat, ya," ujar Kang Bayu sambil tertawa kecil sebelum menutup telepon.
Setelah memastikan kakek dan neneknya dalam keadaan baik, Okta pun bersiap-siap. Perjalanan dari rumah ke Gua Selomangleng hanya memakan waktu sekitar 30 menit, tetapi baginya itu adalah perjalanan yang sangat ditunggu. Di bawah terik matahari pagi, Okta mengendarai motor dengan hati riang menuju gua yang terletak di kaki Gunung Klotok.