“Ibu mau balik ke Gresik naik bus. Ibu titip nenek dan kakek serta adikmu seperti biasa. Uang mingguan ada di lemari. Cukupkan untuk dua minggu ini.” Pesan Ibu Kristina kepada Okta.
“Baik, bu. Okta antar ya sampai terminal.” Ucap Okta sambil bersiap mengantar kepergian ibunya.
Kakek sedang memandikan nenek sore itu. Nenek Marotib tersenyum saat Kakek Hadi menaburkan bedak itu di wajahnya. Nenek sedang mengenakan pakaian yang bagus dan bahagia hari itu.
Saat itu, Okta mengantar ibunya tanpa firasat apa pun. Segalanya berjalan lancar, tak ada tanda-tanda akan ada perubahan besar. Perjalanan ke terminal bus ditempuh dalam waktu tiga puluh menit—waktu yang normal. Saat ia kembali ke rumah, semuanya tampak biasa. Namun, saat melangkahkan kakinya ke pintu, dunia seakan terbalik.
Nenek Marotib, yang beberapa jam sebelumnya masih menyapa dengan senyum lembut dan penuh kasih, kini terbaring lemas di ranjang. Tubuhnya yang dulu penuh tenaga kini seolah tak bernyawa. Seperti badai yang datang tanpa peringatan, seluruh keberadaan nenek hancur lebur di hadapan mata Okta. Dia tercekat, jantungnya berdebar kencang seakan dunia berhenti berputar. Detik-detik itu terasa lambat dan menusuk jiwanya.
"Nenek...," suara Okta tertahan di tenggorokan, tercekik oleh rasa takut dan tak percaya. Kakek Hadi yang berada di samping nenek dengan mata berkaca-kaca hanya mampu menceritakan bahwa setelah maghrib, nenek tiba-tiba kehilangan kesadaran. Pandangan nenek kosong, tubuhnya tak lagi merespons. Kakek panik, menelepon siapa saja yang bisa, berharap ada keajaiban.
Bu Kristina yang baru saja Okta antar, turun dari bis dengan terburu-buru, wajahnya pucat pasi, langsung berlari kembali ke rumah. Di malam yang sunyi namun terasa mencekam itu, anak-anak nenek mulai berdatangan. Pak De Wiryo, yang rumahnya paling dekat, sampai lebih dulu. Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup mereka, penuh kegelisahan dan ketakutan.
Keheningan rumah kecil yang dulu dipenuhi tawa anak cucu kini berubah menjadi tangis dan isak. Keesokan harinya, seluruh anak kakek Hadi telah berkumpul. Bibi Erlina datang dengan mata bengkak dan wajah penuh kecemasan. Bu Kristina tak henti-hentinya menahan tangis, sementara Paman Farid baru tiba dari Jambi. Rasa penyesalan tergambar di setiap wajah.
Di hadapan nenek yang semakin lemah, mereka tahu—waktu tak lama lagi. Setiap hembusan napas nenek terdengar berat, seakan setiap tarikan napas adalah perjuangan terakhirnya. Pandangan nenek mulai memudar, namun di antara kabut itu, cinta dan kenangan masih terpancar dari matanya. Seperti lilin yang mulai kehabisan cahaya, perlahan-lahan padam. Nenek Marotib menolak pergi ke rumah sakit, seolah sudah tahu bahwa inilah akhir dari perjalanan panjang hidupnya.
Saat anak-anaknya berkumpul, bayang-bayang masa lalu mengalir seperti sungai kenangan. Nenek Marotib adalah pilar keluarga, cahaya yang menerangi jalan hidup mereka. Dalam setiap jahitan dan masakan yang ia buat, dalam setiap cerita dan pelukan, nenek membangun fondasi kasih sayang yang mengikat mereka semua. Rumah nenek dulu selalu menjadi tempat pulang, di mana anak cucu berkumpul saat lebaran, merasakan hangatnya kebersamaan. Kini, rumah itu terasa dingin, kehilangan cahayanya.
Di masa mudanya, nenek Marotib selalu menekankan pentingnya silaturahmi, mengajak anak cucunya menjalin tali kasih dengan saudara jauh. Tapi kali ini, silaturahmi terakhir sedang mereka jalani—pertemuan tanpa suara, tanpa tawa. Sebuah perpisahan.
Okta berdiri di samping ranjang nenek, hatinya bergejolak. Rasanya dunia tak adil. Bagaimana bisa sosok sekuat nenek, yang selama ini menjadi sumber inspirasi, terbaring tak berdaya di hadapannya? Sebuah kehidupan yang begitu bermakna, yang penuh cinta, harus berakhir dengan kelemahan yang tak terhindarkan.