Kosmis dalam Kelut

adek Dwi oktaviantina
Chapter #13

Yang Terkasih; abadi dalam anonimitas

Si Kancil bertemu dengan harimau. Saat itu, Kancil berada di dekat pohon bambu. harimau dibohongi kancil jika pohon bambu yang tertiup angin itu adalah seruling nabi Sulaiman. Mendekatlah harimau dengan menjulurkan lidahnya di bambu yang saling bergesekan dan bergerak. Kancil berpesan, "Jika kamu mau seruling nabi Sulaiman itu, pakailah tapi aku harus segera pergi dulu!

Harimau yang serakah memasukkan lidahnya di batang bambu dan lidahnya tergencet. kancil selamat dari terkaman.


Malam itu, suasana di rumah nenek Marotib penuh dengan keheningan yang menyelimuti semua sudut. Di luar, angin berembus pelan, seolah ikut menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terelakkan. Di dalam, keluarga besar sudah berkumpul sejak sore, saling mendoakan dan berusaha mengikhlaskan kepergian yang kian dekat. Meskipun duka menggantung di udara, ada pula suasana kebersamaan yang khas. Mereka duduk di meja makan yang dipenuhi berbagai hidangan.

Ciri khas keluarga besar Okta, meski dalam suasana seperti ini, mereka tetap berusaha menciptakan momen-momen yang membuat hati hangat. Setiap anggota keluarga seperti berlomba untuk menyuguhkan makanan terbaik mereka, seolah makanan adalah simbol cinta yang tak pernah habis dibagi. Ada rendang yang dimasak Paman Farid, sayur asem dari Bibi Erlina, hingga kudapan-kudapan manis yang menjadi favorit sejak kecil. Bahkan dalam duka, perut-perut mereka tak pernah dibiarkan kosong.

Namun, di sudut ruangan, Kakek Hadi tampak berbeda. Wajahnya murung, seolah setiap kerutan di wajahnya adalah pantulan dari keletihan dan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Sejak nenek terbaring lemah, Kakek Hadi tidak berpindah dari sisi istrinya. Dia setia, tak pernah melepaskan tangannya dari genggaman nenek, meski jiwanya tampak tersandera oleh rasa cemas. Setiap kali ada tamu yang datang, dia akan bercerita panjang lebar tentang kondisi nenek beberapa minggu terakhir, seolah mengisi waktu dan menutupi kecemasannya dengan humor ringan dan candaan, meski matanya berkaca-kaca.

"Dia masih kuat, kok. Kamu tahu nenekmu, kan? Dia nggak mau kalah," katanya sambil tertawa kecil, tapi getaran di suaranya tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa harapan itu semakin menipis.

Di depan, rokok yang ia isap hanya mempertegas kesepiannya. Setiap embusan asap tampak seperti tarikan napas panjang yang tak mampu melawan rasa takut kehilangan. Okta sering memandang kakeknya dari jauh, hatinya pedih melihat sosok yang dulu tampak begitu kuat kini diliputi kelemahan yang tak terucapkan. Namun, Okta tahu, di balik itu semua, cinta kakek kepada nenek tidak pernah pudar, bahkan semakin kuat.

Pada suatu pagi, saat jam menunjukkan pukul empat, keluarga yang tengah terlelap mulai bangun satu per satu. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah alam semesta sendiri berbisik bahwa saat terakhir nenek Marotib sudah dekat. Okta, yang tidur di ruangan sebelah, terbangun oleh perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia segera menuju kamar nenek, di mana semua anggota keluarga sudah berkumpul. Paman Farid, yang berdiri paling dekat dengan nenek, membisikkan kalimat-kalimat Allah di telinga beliau, suaranya lembut namun tegas.

Lihat selengkapnya