Okta mengenang suatu masa saat nenek Marotib masih sehat, Okta sering berkhayal tentang masa depan mereka berdua. Suatu sore, mereka berjalan santai ke belakang rumah, mengagumi kebun yang rimbun dengan tanaman kakek Hadi. Sambil memandang jauh ke arah pepohonan pisang dan mangga, Okta berkata dengan penuh semangat, “Nek, suatu saat nanti kita akan bangun rumah ini jadi besar. Lebih besar dari sekarang! Bayangkan, kita punya dapur yang luas, ruang makan yang penuh makanan enak. Ada tukang masak yang setiap saat siap memasak untuk kita. Mau makan apa saja, kita tinggal pesan!”
Nenek Marotib hanya tersenyum, matanya berbinar mendengarkan khayalan cucunya. Ia mengangguk lembut, seolah-olah menyetujui setiap impian yang diutarakan Okta. “Bahan-bahannya, Nek, bisa kita beli di kota. Semua bisa kita punya, apa yang kita mau,” lanjut Okta dengan mata penuh harapan.
“Kamu ini bisa saja, Nak,” jawab nenek dengan suara hangat, meskipun ia tidak mengatakan lebih banyak. Namun, senyumnya cukup untuk memberikan keyakinan bahwa baginya, tidak ada impian yang terlalu besar untuk cucunya. Dukungan nenek selalu datang dalam bentuk keheningan yang penuh cinta.
Waktu berlalu, dan kini nenek Marotib hanya bisa terbaring. Hingga akhirnya, Okta tidak pernah menyangka bahwa hari itu tiba—nenek telah pergi untuk selamanya. Okta memandangi wajah nenek yang tampak tenang, seperti sedang tidur dengan senyum kecil di bibirnya. Wajah yang damai itu terasa begitu familiar, seperti menyiratkan kebahagiaan, meski untuk terakhir kalinya.
Kerabat dan tetangga terus berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir. Rumah Okta penuh dengan orang-orang yang mengenang nenek Marotib sebagai sosok yang penuh kasih. Suara tangisan bercampur dengan obrolan lirih mengisi rumah itu. Prosesi penguburan nenek berjalan cepat, sesuai adat desa. Hanya beberapa jam setelah meninggal, nenek dikebumikan di pemakaman desa. Rumah pun menjadi riuh dengan persiapan tahlilan selama seminggu, sebuah tradisi yang mengikat keluarga dan tetangga dalam rewang di dapur, memasak untuk para tamu yang datang dari penjuru desa hingga kabupaten.
Bibi Desi dan keluarganya ikut sibuk membantu, sementara Okta mendapat tugas berat—mencuci piring-piring yang tak pernah habis. Setiap hari rumah dipenuhi dengan tamu, dan setiap hari tumpukan piring seakan bertambah tinggi. Setelah tujuh hari penuh dengan tahlilan, rumah itu mulai sepi lagi. Keluarga besar, yang sebelumnya sibuk dengan kesedihan dan keramaian, perlahan mulai kembali ke kehidupan masing-masing. Paman dan bibi pun bersiap untuk kembali ke tempat mereka harus bekerja. Pak De Wiryo kembali ke Wates, Paman Farid kembali ke Jambi, Bibi Erlina ke Tuban, dan Paman Darso kembali ke Solo.
Setelah semuanya selesai, Bu Kristina memanggil Okta ke ruang tamu. Mereka duduk berdua di meja kecil, suasana terasa hening setelah seminggu penuh hiruk-pikuk. “Okta,” kata ibunya lembut, “Sudah seminggu nenek meninggal. Ibu tahu kamu sudah melakukan banyak hal. Ibu tidak akan menahanmu lagi jika kamu ingin merantau atau bekerja di kota. Tugasmu di sini sudah selesai.”
Mendengar itu, Okta merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya, tetapi ia juga tahu bahwa masih ada tanggung jawab yang tersisa. “Ibu, aku ingin membantu Iyan dulu. Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi, dan dia masih kesulitan. Aku mau bantu dia sampai semuanya selesai.”
Ibu Kristina mengangguk setuju. “Tentu, Nak. Tapi ingat, setelah itu, kamu bebas untuk memilih jalanmu sendiri.”
Hari-hari berikutnya, Okta habiskan dengan mendampingi Iyan belajar. Setiap malam, mereka duduk di meja kecil yang sama, Okta dengan sabar menjelaskan teori-teori Matematika dan Fisika yang sulit dicerna oleh adiknya. Namun, Iyan kadang-kadang tampak bosan dan mudah kehilangan konsentrasi. Okta pun merasa kewalahan. Meski dia bukan ahli Matematika atau Fisika, dia memutuskan untuk belajar kembali bersama adiknya, mempelajari ulang rumus-rumus yang dulu pernah ia pelajari di bangku sekolah.