Sandikala tak tunjukkan rupa-rupa,
Ada kalanya tawa di atas derita,
Derita yang berkelindan dengan tanda tanya.
Di balik senyum yang terkadang muncul di wajah-wajah di sekitar, ada cerita yang tak terucap, tersembunyi di balik tawa. Ada kalanya seseorang tertawa, namun di balik canda itu, terselip derita yang terbungkus rapi dalam kepura-puraan. Tawa itu mungkin terdengar meriah bagi yang mendengarkan, tetapi bagi yang merasakannya, setiap kali tertawa justru menambah perih di dalam hati.
Derita yang hadir bukanlah derita biasa. Ia bukan luka yang bisa dilihat oleh mata telanjang, melainkan rasa yang berkelindan dengan tanda tanya—sebuah beban yang samar, yang tak mudah dijelaskan. Orang yang menanggungnya terus bertanya dalam diam, “Mengapa harus aku? Apa maksud dari semua ini?” Tanda tanya itu menghantui, mengisi kekosongan dalam pikiran, menggerogoti jiwa dengan ketidakpastian.
Dalam momen seperti ini, waktu seakan berhenti. Tawa yang penuh derita bercampur dengan kebingungan yang tak terjawab, meninggalkan perasaan hampa yang sulit dimengerti. Sandikala, yang tak menunjukkan rupa, hanyalah cerminan dari hati yang penuh dengan kebimbangan dan rasa sakit yang tersembunyi di balik senyuman.
Sekali lagi Okta harus berhadapan dengan ketakutan terbesarnya. Datang kembali di rumah Bibi Desi. Sesampainya di rumah Bibi Desi, Okta menyaksikan Bibi Desi yang sedang menunduk lesu di ruang temu. Seluruh keluarga berkumpul di sana. Bibi Desi bercerita apa yang terjadi pada beberapa hari lalu.
Saat itu, Bibi Desi duduk menjahit di ruang tamu, memandangi anaknya, Rifan, yang sedang sibuk bermain dengan boneka-boneka kecil di sudut ruangan. Wajah Rifan yang biasanya ceria tampak sedikit muram. Bibi Desi merasa ada sesuatu yang salah, tetapi ia tak tahu harus bagaimana. Perasaan cemas kerap menyelimutinya akhir-akhir ini.
Suatu sore, saat Rifan sedang bermain di depan cermin, tiba-tiba dia mengambil lipstik milik ibunya dan mulai memoleskan di bibirnya. Bibi Desi yang melihat hal itu langsung bereaksi cepat.