Pada masa kejayaan Kerajaan Kediri, hiduplah seorang wanita raksasa yang dikenal dengan nama Totok Kerot. Ia bukan sekadar makhluk sakti dengan tubuh besar dan kekuatan luar biasa, namun juga seorang yang memiliki keberanian dan tekad yang tak tertandingi. Keberaniannya tak hanya terlihat di medan perang, namun juga dalam cintanya yang begitu besar dan penuh hasrat kepada Raja Kediri, Brawijaya—raja yang dikenal teguh dalam prinsip dan tak mudah tergoyahkan oleh emosi atau rayuan. Cinta Totok Kerot begitu kuat hingga ia siap menentang adat, melamar sang raja yang ia kagumi.
Pada suatu hari, di istana Blitar, Totok Kerot, dengan segala keberanian yang tertanam dalam dirinya, datang untuk menghadap Raja Brawijaya. Dengan tatapan tajam dan penuh harap, ia melayangkan lamaran kepada sang raja. “Sungguh, Kakanda,” ucap Totok Kerot dengan suara tegas, namun sarat emosi, “Adinda tetap akan melamar Kakanda BrawiJaka. Apapun yang terjadi.”
Lamaran itu seketika menjadi perbincangan seisi istana. Para penasihat kerajaan mengingatkan sang raja untuk menolak, sementara beberapa orang di sekitar Totok Kerot menyarankannya untuk mundur. Namun, raksasa wanita itu tetap teguh pada niatnya. Ia tidak takut menantang segala norma dan tradisi. Baginya, cintanya kepada Brawijaya adalah abadi. Ia siap menghadapi apapun untuk memperjuangkan hatinya. Ia bahkan menantang takdir, bersumpah untuk menunggu jawaban dari sang raja hingga purnama terbit dari balik punggung Gunung Kelud.
Namun, Raja Brawijaya, dengan hati yang dingin dan tak tergoyahkan, tidak memberikan harapan. Matanya menatap jauh ke arah Totok Kerot, namun bibirnya tetap terkatup rapat, tak mengeluarkan satu kata pun yang bisa menjadi tanda persetujuan. Hari demi hari berlalu, dan lamaran itu tetap tidak mendapatkan jawaban. Totok Kerot, yang pada awalnya berharap cinta dan keberaniannya akan berbuah manis, semakin resah. Dia mulai merasakan bahwa cinta yang ia perjuangkan mungkin tak akan pernah terbalas.
Ketika bulan purnama akhirnya muncul dari balik Gunung Kelud, Totok Kerot berdiri di atas puncak bukit, menghadap ke arah kerajaan Kediri. Wajahnya penuh dengan kekecewaan dan amarah yang membara. "Kutunggu jawabanmu, Baginda. Kutunggu hingga purnama muncul dari balik punggung gunung Kelud," ucapnya lagi dalam hati, meski kini ia sadar bahwa tak ada jawaban yang akan datang. Hatinya dipenuhi oleh lara dalam renjana.
Merasa malu karena lamaran cintanya tak terbalas, Totok Kerot pun murka. Ia mengabaikan peringatan orang tuanya yang telah melarangnya untuk mendekati sang raja. Dengan penuh amarah, ia memutuskan untuk menentang Kediri, mengerahkan seluruh kekuatannya dan membangkitkan peperangan. Ia menyerang tanpa ampun, merusak segala yang ada di hadapannya, berniat menimbulkan luka besar bagi Raja Brawijaya yang telah menolak cintanya.
Namun, Raja Brawijaya tak tinggal diam. Menyadari ancaman besar yang datang dari Totok Kerot, ia menggunakan kekuatannya untuk mengutuk sang raksasa. Dengan kekuatan mantra kuno yang diwariskan para leluhurnya, Raja Brawijaya mengucapkan kutukan yang membuat Totok Kerot menjadi abadi—abadi dalam wujud patung. Kutukan itu mengikat Totok Kerot untuk selamanya, membekukan tubuhnya menjadi batu di tanah yang dulu penuh dengan jejak langkah kakinya.