Di antara helaian malam yang temaram, Rifan terkurung dalam ketakutan yang tak mampu ia taklukkan. Setiap harinya, tubuhnya yang kurus seakan semakin menyatu dengan bayang-bayang; tubuh yang ringkih itu terserap ke dalam kesunyian yang dalam, melayang-layang antara kenyataan yang samar dan dunia yang diciptakannya sendiri.
Kadang ia tertawa—senyum getir yang terlontar tanpa alasan, seolah tertawa hanya untuk menertawakan kengerian yang menyelimutinya. Kadang ia menangis, seakan air mata adalah bahasa yang paling setia menemani jiwanya yang rapuh. Dalam dunianya yang tersendiri, batas dimensi pun melengkung, berbaur tanpa bentuk yang jelas. Setiap langkahnya seakan terjepit di antara dua alam; satu nyata, satu lainnya hanya dalam benaknya yang semakin terasing.
Bibi Desi, dengan segala cinta yang lapuk dimakan waktu, tak pernah alpa berdoa. Bibirnya melafalkan harapan, suaranya merapalkan mantra yang membentangkan keyakinan. Dalam tatapan matanya yang letih, ada keikhlasan yang tak pernah mati, seolah setiap bisikan doanya dapat menyentuh ruang antah berantah yang kini membelenggu Rifan. Dalam singgasana kecil dalam hatinya, ia menyalakan doa—nyala harap yang tak pernah padam, berusaha menggapai Rifan, mengundangnya pulang dari dunia yang mengancam menelan dirinya bulat-bulat.
Di bawah langit yang muram, keluarga Bibi Desi akhirnya meninggalkan rumah itu—tempat yang membawa petaka sekaligus ujian yang tiada putusnya. Rumah Pak Yazid, atasan ayahku, seolah menyimpan rahasia gelap yang bernaung di setiap sudutnya, menjadikan setiap langkah yang mereka ambil di dalamnya terasa berat, tertimbun oleh bayang-bayang yang meresap perlahan-lahan ke dalam keseharian mereka.
Setelah sekian lama berharap pada doa yang tak kunjung menembus kekosongan, mereka memutuskan untuk angkat kaki. Dengan segenap rasa perih yang terkikis dalam hati, mereka pindah ke Wates, mengontrak sebuah rumah yang sederhana namun menjanjikan ketenangan—setidaknya itu yang mereka yakini. Di sana, mereka berharap pada secercah harapan yang tak pernah pudar: bahwa teror yang menghantui malam-malam mereka akan mereda, bahwa luka jiwa yang menggerogoti Rifan akan memudar.
Bagi Bibi Desi, setiap langkah menjauh dari rumah Pak Yazid adalah langkah menuju pemulihan. Namun, di balik itu, ada perasaan takut yang masih mengendap—takut akan bayangan yang mungkin mengikuti, takut akan sosok Rifan yang sudah terlalu lama terjebak di balik tirai khayalnya, dan takut pada kemungkinan bahwa anak yang ia sayangi tak pernah lagi benar-benar kembali. Tapi meski bayang-bayang itu menguntit, ia terus melangkah, seolah dengan setiap tapak, ia membawa doa yang ditanamnya dalam-dalam ke dalam tanah. Ia berdoa agar di rumah baru itu, Rifan bisa sembuh, bisa kembali mengenali dirinya, dan, entah kapan, mampu menyapa dunia yang sudah lama ia abaikan.
Di Wates, keluarga itu menggantungkan asa terakhir, sebuah doa yang dihembuskan dengan ketulusan. Mereka berharap rumah baru ini bukan hanya atap, tetapi pelindung dari segala teror yang pernah mereka alami, tempat di mana Rifan mungkin bisa menemukan kembali cahayanya, menyibak kabut yang selama ini mengurungnya. Dan bagi Bibi Desi, tidak ada yang lebih ia pinta selain mendengar Rifan tertawa, suatu hari, dengan penuh bahagia yang sungguh-sungguh.