Kosmis dalam Kelut

adek Dwi oktaviantina
Chapter #18

RIP Rifan dalam Pusaran Kehidupan

      Pada malam ketiga, dalam sunyi tahajudnya yang khusyuk, Bibi Desi bersujud lebih lama dari biasanya. Rasa pasrah meresap dalam tiap doa yang lirih terucap. Matanya sembap, bibirnya bergetar pelan, mengucap doa agar Tuhan menyegerakan takdir, apa pun itu—agar Rifan ditemukan, hidup atau pun sudah tenang di sisi-Nya.

Ketika lelah menjalari tubuhnya yang renta, ia terlelap dalam posisi duduk bersimpuh, bibirnya masih menggumamkan zikir. Dalam tidur yang sekejap itu, bayangan muncul di hadapannya, samar namun begitu nyata. Di tengah gelap yang tak bertepi, Bibi Desi melihat tubuh anaknya—Rifan. Tubuh itu terbaring, diselimuti cahaya bulan yang lembut namun menusuk, seakan menembus ke dalam hati. Rifan terdiam di sana, seolah sedang beristirahat, dengan minyak yang melapisi kulitnya, memancarkan kilau redup seakan memberi pesan yang sulit diterjemahkan.

Bulan bersinar pucat, mengiringi keheningan mimpi itu dengan suasana yang menyayat. Bibi Desi merasakan seolah angin malam mendesir, membawa aroma asing yang samar-samar membuat dada sesak. Tubuh Rifan terlihat tenang, terlalu tenang, seperti melayang antara dunia dan akhirat.

Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Bibi Desi mendekat, namun setiap langkah membuat sosok Rifan semakin menjauh. Seperti bayangan di atas air, tubuh itu memantul dan lenyap, tenggelam dalam kilauan bulan yang dingin dan tak tersentuh.

Ketika terbangun, sisa mimpi itu masih menggantung dalam pikirannya, memunculkan perasaan aneh antara harap dan pasrah. Ia duduk dalam hening yang menusuk, dengan air mata yang tak lagi tertahan, membiarkan perasaan pasrah meresapi tiap sisi jiwanya. Di situ, dalam sunyi subuh yang menggantung, ia tahu bahwa pencariannya kini berpindah dalam bentuk doa yang sepenuh hati, berharap agar Tuhan segera memberi jawaban—meski hatinya telah siap menerima segala takdir yang akan datang.

Selepas subuh yang dingin, Bibi Desi menuju sumur di belakang rumah untuk mengambil air. Fajar baru saja merekah, langit masih kelabu, dan hanya terdengar suara burung-burung yang mulai bangun. Udara terasa sejuk, mengaburkan lelah dan kesedihan yang telah lama bersarang di dadanya.

Dengan tangan yang terampil, ia menurunkan ember ke dalam sumur, mendengarkan suara air yang beriak halus. Namun, saat menarik ember kembali, ada yang ganjil. Ember itu seperti terantuk sesuatu, berhenti, lalu bergerak pelan seolah terbentur sesuatu yang besar di dalam air. Bibi Desi mendekatkan wajahnya ke mulut sumur, mencoba melihat lebih jelas. Cahaya subuh yang pucat menembus permukaan air, memperlihatkan bayangan yang samar. Matanya menyipit, hatinya berdebar kencang.

Lihat selengkapnya