Di tengah duka yang masih menyelimuti rumah, Okta merasa beban di hatinya semakin berat. Rasa kehilangan atas kepergian nenek dan Rifan menggelayuti pikiran, membuatnya sering absen dari kegiatan di klub penelitian. Namun, yang paling membuat hatinya teriris adalah melihat perubahan sikap kakeknya. Setelah kepergian nenek, kakek yang biasanya hangat dan penyabar, kini menjadi sosok yang mudah tersinggung dan pemarah.
Suatu siang, Okta yang tengah duduk termenung di ruang tamu mendengar suara keras dari ruang belakang. Ternyata, Pak De Wiryo, adik dari ibunya, datang berkunjung. Percakapan yang awalnya terdengar biasa, tiba-tiba memanas. Okta pun mendekat untuk mendengarkan lebih jelas.
"Kak, tanah di belakang itu sebaiknya dijual saja. Daripada dibiarkan terlantar begitu, kan bisa membantu keperluan kita," suara Pak De Wiryo terdengar penuh desakan.
"Tidak, Wiryo. Tanah itu adalah peninggalan nenek kalian! Aku tidak akan menjualnya begitu saja," jawab Kakek dengan suara bergetar. Wajahnya berubah tegang, tampak jelas rasa gusar yang muncul setiap kali mengingat nenek.
“Pak, lihat kondisi kita sekarang,” Pak De Wiryo menekan, “Bukannya lebih baik kalau tanah itu bisa dimanfaatkan? Ini bukan soal nenek lagi, ini soal kelangsungan keluarga!”