KOSMUS

ushiomoonie
Chapter #1

Palung Tergelap

Aku mendengar nafas yang cukup berat. Suaranya terengah-engah, terdengar seolah ia sedang dikejar oleh seseorang. Namun, jika itu memang benar suara dari orang lain—lantas mengapa diriku merasa bahwa suara nafas itu ialah milikku?

Aku melemparkan pandangan. Dan di detik itu, kusadari bahwa diriku sedang berada di sekolah, lebih tepatnya sedang berjalan di suatu jalur koridor.

Begitu menundukkan kepala, aku mendapati sepatu putih bertali simpul sedang sibuk berlari. 

Lantas aku menoleh ke samping kanan yang hanya terdapat dinding pembatas setinggi dadaku—menampilkan suasana gedung sekolah tiga lantai dengan gaya arsitektur khas peninggalan kolonial. Salah satunya yang kutahu tampak dari karakter langit-langit yang sangat tinggi, terlebih lagi atap miring di gedung seberang sana. Aku sering melihat bangunan sejenis ini di sekitar jalan Jawa, terlebih lagi rumah Singa yang berlokasi di depan bangunan gedung Pancasila.

Atensiku kembali terpusat mengarah pada satu arah yang lain, yaitu arah kiriku. 

Berjajar beberapa ruangan dari ujung belakangku hingga ke depan—yang kuyakini kalau di ujung depan sana ada pertigaan jalur—yang kemungkinan hanya diisi oleh ruang-ruang kelas.

Tiap ruang memiliki dua pintu tinggi—pintu keluar dan masuk yang terpasang di ujung kanan-kirinya—dan tiga buah jendela kotak yang cukup tinggi pula dengan gaya selipan kayu tipis yang bertumpuk di bagian tengah daun jendelanya, sedang terbentang lebar ke arah luar—sontak menampilkan keadaan suasana di dalam kelas itu.

Netraku makin terfokus dengan anak-anak di dalam sana yang tampak serius, menundukkan kepala, menghadap lurus ke arah meja yang terdapat selembar kertas, dan ada pula yang sedang menggigit jari atau memegang kepala mereka cukup frustasi. Melihat suasana itu, aku paham bahwa mereka sedang menjalani ujian.

Ujian itu memang menakutkan.

Lantas, sejak kapan aku berlari dengan terburu-buru pada detik ini?

Sejak kapan diriku berada di sebuah koridor bangunan yang tampak luas ini?

Dan … sejak kapan aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri?

Apakah ini mimpi? 

Aku makin merasa yakin bahwa yang kualami ini memang sekadar sebuah mimpi. Sebab, aku hanya bisa merasakan pandangan di sekitar saat ini dan mendengarkan pikiranku sendiri di detik ini kecuali gerak tubuhku, seolah-olah aku ialah sebuah puppet—boneka kayu yang terdapat tali transparan di tiap engsel sambungan untuk dapat digerakkan oleh dalangnya.

Sungguh, ada apa dengan diriku?

Sekonyong-konyong, berhentilah langkah kedua kakiku ini. Begitu mendapati diriku berhenti di sebuah ruang kelas dengan pintu yang tertutup, kepalaku mendongak lurus dengan netra yang berpencar ke sekeliling—sebab memang hanya pupil mataku saja yang bisa bergerak semauku—diikuti dengan gerakan impulsif dari anggota tubuh gerakku yang memutuskan untuk mengetuk pintu, membuka daun pintunya kemudian masuk ke ruangan itu.

Sontak suasana yang sebelumnya aku lihat dari luar jendela, kini aku berada di dalam ruang di balik jendela itu. Beberapa pasang mata kompak mengarah padaku—termasuk salah seorang pria paruh baya dengan seragam abu-abu, rambut klimis, dan perut yang membuncit—tampak melemparkan tatapan tajam terhadapku.

Lihat selengkapnya