KOSMUS

ushiomoonie
Chapter #2

Di Luar Nalar

Samar-samar raksi cairan sejenis bahan kimia penetralisir alat-alat medis menusuk indra penciuman dua penghuni di ruangan itu. 

Lebih tepatnya, di atas bangsal kasur dengan busa spon yang tak terlalu menggembung dengan baik–ada seorang gadis sedang meringkuk mencari kehangatan di bawah perlindungan selimut. Sudah lima belas menit lamanya ia berbaring di sana tanpa terlihat pergerakan sedikitpun sejak kedatangannya yang dibopong oleh teman sekelasnya dalam keadaan pingsan.

Perawakannya cenderung kurus, bahkan ujung ibu jari dan kelingkingnya pun dapat bertemu ketika dilingkarkan ke pergelangan tangannya. Meski begitu, pinggulnya cukup lebar–karena itulah ibunya selalu menyayangkan proporsi badan anak gadisnya yang sebenarnya bisa saja terlihat sangat ideal bagi seorang pelajar perempuan. 

Di sisi lain, seorang wanita yang tak diketahui namanya itu sepertinya menjabat sebagai perawat sekolah, lengkap dengan pakaian khasnya–jas putih sepanjang betis orang dewasa. Dia sudah terbiasa melayani pelajar di sekolah itu yang entah pingsan selama pelaksanaan upacara, cedera sehabis olahraga, dan lain sebagainya. Masalahnya baru kali ini ia mendapati seorang pelajar pingsan di tengah-tengah simulasi ujian.

Seharusnya hal itu wajar, terlebih lagi semester akhir memang akan segera berakhir dan simulasi ujian inilah yang menjadi alarm kelulusan. Tentu saja, perawat itu paham, tapi sekali lagi kejadian ini merupakan pertama kalinya.

Tampak wanita itu mendekati bangsal kasur sambil membawa segelas air hangat yang telah dicampur beberapa sendok madu dan sebuah bungkus roti tawar tiga helai kemudian meletakkannya di atas nakas. Lepasnya, Ia menarik kursi tanpa sandaran lengan secara perlahan supaya tak menimbulkan reaksi terkejut si gadis karena bunyi decitannya dan mendudukinya.

Tangan wanita itu meraih dahi sang siswi, hawa dingin yang diikuti dengan derasnya keringat seketika menempel ke punggung tangannya. Gusar wajah halus terlihat jelas pada wajahnya. Ia curiga kalau gadis ini merasa cukup tertekan dengan ujiannya hingga membuatnya harus pingsan karena stres.

Helaan nafas panjang pun terdengar dari mulutnya. “Ini hanya simulasi ujian, bukankah dirimu sangat memaksakan diri?” 

Lantas rambut lurus tetapi agak sedikit bergelombang itu bergerak lembut seiring pergerakan gadis yang terlihat mulai mengganti posisi badannya. 

Di detik itu pula, perut bagian bawahnya terasa seperti diremas tak karuan. Sontak kelopak matanya terbuka perlahan, tangan kanannya menumpu badan selagi berusaha menegakkan separuh badan–dibantu oleh ibu perawat yang setia menjaga di sampingnya, sedangkan tangannya yang lain terus berusaha melumat perutnya seolah-olah tindakan itu menjadi pelipur lara setidaknya selama beberapa detik.

“Butuh toilet?” tanya perawat itu dan hanya dibalas anggukan kepala. “Ibu akan memapahmu, perlahan saja turunkan kedua kakimu.” Sang gadis menurut, perlahan tapi pasti langkahnya semakin mendekati kamar kecil hingga ia benar-benar berada di dalamnya.

Tak terlalu lama, gadis itu sudah keluar dari bilik kecil dengan raut wajah yang juga belum terlihat membaik. Bibir tipisnya masih mencebik.

“Apa benda itu sudah keluar?” Perempuan itu bertanya, dan terdengar sangat berhati-hati, mengingat yang ia hadapi merupakan seorang remaja perempuan dengan kemungkinan memiliki gengsi yang cukup tinggi, sehingga penyebutan kata-kata ‘itu’ terdengar agak tabu untuk dilontarkan secara terbuka.

“Tidak,” balas si gadis setelah pantatnya mendaratkan diri lagi di sisi kasur. Ia pun menerima sodoran dari sang perawat berupa segelas air dan roti. “sama sekali tidak. Rasanya hanya mulas.”

Kini dibandingkan cemas, perawat itu tampak sedikit kesal. “Seharusnya kau tak usah memaksakan diri ikut ujian. Ini hanya simulasi.” Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah tag name yang terjahit di bagian dada kiri gadis itu. Tertulis nama Loka Samsara disana. “Loka, tolong dengarkan Ibu–saya tahu kalau simulasi ujian juga penting sebagai persiapan ujian yang sebenarnya, tapi kesehatanmu lebih penting.”

Gadis yang bernama Loka itu menyelipkan senyuman tipis. “Saya harus melakukannya.”

Lihat selengkapnya