Dasar Pemeras
~
Titik-titik air menyentuh lembut punggung tangan Loka. Sontak saja ia menengadahkan kepalanya, mendapati kapas-kapas langit yang begitu tebal berwarna abu gelap sukses menyelimuti cahaya terang matahari di atas sana. Takut hujan makin deras, ia segera memutarbalikkan badan dan di ujung sana–tepatnya arah selatan lapangan, terlihat seseorang mirip perawakan dirinya sedang berdiri disana tanpa berkutik.
Gulp.
Gadis itu kontan meneguk ludah. Kedua tungkainya seolah dipaku menancap ke permukaan lapangan, sekujur otot-otot penggerak lengan begitu juga kepala mendadak tak bisa dikontrol. Hanya pupilnya yang terlihat membesar ngeri–menangkap sosok itu berjalan mendekat, makin jelas pula ternyata tampang sosok itu memiliki perawakan seorang perempuan.
Raut muka itu benar-benar tak terindikasi sebagai seorang manusia. Bukan karena wajah yang hancur, atau luka-luka mengerikan terukir penuh di wajahnya melainkan lebih dari itu. Seperti sensor yang rusak, seluruh figur penting itu tertutupi sejenis glitch. Ditambah pergerakan di luar nalar, di mana ia berjalan lunglai tanpa tenaga tetapi entah kenapa langkahnya terlihat sangat cepat hingga sosok itu secara nyata berhadapan tepat di depan mata Loka.
Sorot matanya tajam, dan terlihat menusuk.
Sungguh, gadis itu otomatis menahan nafasnya. Degup jantungnya mungkin sempat tidak berfungsi dengan baik selama hitungan detik. Rasa kejutnya benar-benar menyakitkan hingga membuatnya merasa ingin memuntahkan sesuatu. Keadaannya saat ini terasa di tengah-tengah paksaan. Yang pertama, sekujur tubuhnya dibiarkan basah kuyup di bawah langit terbuka yang sedang menurunkan air langitnya secara perlahan; dan kedua–terpaksa tak memberontak karena memang hanya bisa terpaku di depan sosok menyeramkan itu.
“Hai, gadis cantik.” Suara sosok itu terdengar familiar bagi Loka; hingga otomatis pikirannya memberikan putaran ulang terhadapnya–ketika ia sedang mengangkat telepon dari nomor tak dikenal. Awalnya ia penasaran siapa orang yang meneror dirinya dengan dering telepon, kini ia bertemu dengan sosok itu dan tak bisa berkata apapun. Lengan glitch itu terlihat menggapai ujung rambut panjang milik Loka. “Apa kau tahu kenapa keadaan tak menguntungkan ini mendadak menimpamu?”
Tentu saja yang diajak berkomunikasi hanya termenung syok.
Tawa tipis sekonyong-konyong menguar. Sumbernya tak lain dan tak bukan ialah sosok glitch itu. Lantas ia kembali berbicara dengan sisa tawanya. “Emosi gelapmu yang tak terlalu dominan telah terendus oleh kami. Aku bertanya-tanya,” kini sosok itu tanpa permisi meraih telapak tangan Loka, digenggam kemudian dielus olehnya seolah-olah tangan gadis itu merupakan sesuatu yang berharga. Di sisi lain, ia mencondongkan wajahnya ke samping telinga kanan Loka. “seberapa besar bindu yang akan kuterima dari hiburan ini?” bisiknya, meninggalkan perasaan risih bagi gadis itu.
“Oh?” Glitch mendapati tangan Loka yang lain sedang menggenggam gunting dengan ujung runcingnya seakan siap segera menusuk dirinya, dan itu pun terjadi kalau saja Loka berani membuat seseorang berdarah. Di sisi lain, ia juga ragu kalau pisaunya dapat melukai makhluk Glitch itu.
Gelegar tawa terjadi lagi. Kali ini lebih terdengar nyaring dan tamak.
Kalau saja ada saklar ‘pingsan’ yang secara nyata bisa disentuh, detik ini juga Loka ingin menggunakannya dengan senang hati. Masalahnya selama hampir delapan belas tahun menghirup oksigen di dunia ini, baru sekali ia pingsan dan itupun simulasi ujianlah penyebab dirinya tumbang. Sejujurnya ujung kakinya sudah mendingin sejak kehadiran makhluk aneh ini berdiri di depannya, ditambah telapak kakinya terasa basah bukan hanya sebab hujan melainkan tercampur oleh keringat dinginnya seakan-akan dirinya merupakan seorang anggota sirkus pemula yang sedang berjalan di atas besi lonjor tanpa alat pengaman satupun melilit tubuhnya.
Glitch mendadak menangkup tangan Loka yang sedang menggenggam gunting. Perlahan telapaknya bergeser menyentuh ujung gunting, sembari menatap Loka yang sedang terpaku kaku–ia mengepalkan ujung gunting itu lebih erat, sontak membuat Loka menahan nafas dan memejamkan mata.
“Oh, jangan pejamkan matamu. Ayolah, buka matamu.”
Sekali lagi, mau tak mau, kelopak mata Loka menuruti titah Glitch. Ia lamat-lamat menjatuhkan pandangan, kemudian melirik dan menatap kepalan tangannya. Disana tak ada lagi keberadaan gunting sebagai alat pembela dirinya.
Sosok glitch itu menjauhkan jaraknya kembali. Kedua lengannya mendorong pundak Loka dan korbannya tak bisa menebak ekspresi macam apa yang sedang dibuat olehnya. Mungkin tersenyum layaknya seorang psikopat, atau bisa saja menatapnya begitu sayu sebagai sindiran terhadapnya. Sebab kini Loka merasa dirinya dipermainkan, baik itu perasaan, batin maupun fisiknya. Mulai dari gelagat bicara, rayuan usil serta tawa yang terdengar merendahkan, semua itu benar-benar menyakiti harga dirinya.
“Jangan curang, pertarungan belum dimulai.”
Kini dibandingkan merasa takut, ia merasa geram. Kedua tangannya terlihat mengepal erat secara diam-diam. Sorot mata gadis itu terlihat ikut merendahkan, bahkan ada sedikit gurat kebencian dari sana.
“Oho!” Tanpa alasan yang jelas, glitch itu mendadak menepuk tangannya. “Aku menyukai sorot mata itu, tapi aku ragu …”
“Apa maksudmu?” sungut Loka.