Gerbong yang tidak memiliki ekor panjang layaknya kereta api, kursi-kursi yang disediakan tanpa bagian pelembut yang membuat pantat-pantat penumpang terasa nyaman ditambah lagi dudukan maupun sandaran tempat duduk itu terbuat dari papan besi setebal empat sentimeter. Sekiranya ketebalan itu cukup untuk menanggung beban penumpang yang rata-rata ideal. Yah, kini Loka dengan berat hatinya harus rela berada di dalam trem itu.
Di dalam trem itu, kedua maniknya tak dapat menyorot banyak pencahayaan.
Sesaat memasuki trem–bersamaan dengan pintu trem yang otomatis bergeser menutup, ia sedang berada di sebuah ruangan hanya dengan beberapa buah lampu minyak sebagai sumber penerangannya. Rasa-rasanya, suasana itu memancing sensasi yang begitu lengket hingga membuat kedua tapak kaki gadis itu hanya dibuat mematung tanpa bergerak sedikitpun. Pupil hitamnya bergerak menuju ekor mata bagian kiri, kemudian berpindah lamat-lamat ke arah lainnya. Lantas keringat dingin mendadak kembali berlebih dihasilkan di permukaan bagian tapak kaki maupun tangannya. Bagian punggungnya juga didominasi hawa dingin yang tak nyaman.
Ada banyak orang disana, tidak … lebih tepatnya keberadaan sosok-sosok yang tidak diketahui dengan jelas jenisnya. Loka menangkap penampakan sosok bayangan yang membentuk layaknya figur seorang manusia sedang duduk di masing-masing kursi yang memanjang dan saling berhadapan.
Mereka duduk dengan patuh, badan terlihat tegap, kalau saja memiliki wajah yang jelas–sepertinya mereka sedang meluruskan pandangan tanpa arah, kedua telapak tangan berada pada lutut masing-masing dengan jenjang kaki yang begitu tegak.
Gundu indah gadis itu terlihat membesar bulat–mengingat sedikitnya cahaya yang menyorot masuk dalam bilik trem kecil ini. Ia menyapukan pandangannya ke penjuru arah setelah mengumpulkan keberaniannya, lagi-lagi ia harus mencoba mengabaikan rasa merinding dari keberadaan para entitas yang mengerikan itu–barangkali ada pojok tempat yang setidaknya dapat merehatkan batin serta betisnya yang mulai kesemutan.
Atmosfer yang entah apa penyebabnya mendadak menjadi dingin pun seketika meniup pori-pori kulit gadis itu.
Gadis itu sontak memejamkan kedua kelopak matanya, berupaya mencari-cari stok udara tipis yang segar tuk dihirupnya. Yasangkali akhir-akhir ini kejadian di luar nalar hanyalah mimpi yang memang tak bisa dikendalikan olehnya sehingga dirinya harus tersiksa oleh beberapa adegan penampakan yang tak nyaman untuk dirasakan.
Masalahnya, ketika ia memutuskan untuk menampar kedua pipinya secara bersamaan dengan kecepatan dan saluran kekuatan yang cukup kuat, tamparannya tahu-tahu membasahi sklera maniknya.
Orang bilang rasa sakit merupakan bukti bahwa mereka tidak sedang bermimpi, lantas jika ini memang bukanlah mimpi–maka benarlah yang ia alami saat ini sangat di luar nalar.
Dan di luar pengetahuan Loka, sepertinya jalur trem aneh itu melaju di atas permukaan dasar rel yang sudah lama tak dilakukan pemeliharaan oleh pengelolanya.
Beberapa kali suara decitan tertangkap oleh indra bunyi Loka dan bahana itulah yang kembali menyadarkan dirinya bahwa ia harus cepat-cepat mengembalikan pikiran warasnya di detik itu. Ditambah dinamika yang tak konsisten dari gerak percepatan trem, sudah beberapa kali juga membuat badan Loka terhuyung-huyung. Bahkan Loka sendiri sampai dibuat salut oleh kakinya sendiri karena ia mampu bertahan dari goncangan yang cukup mengganggu tersebut.
Begitu trem itu melewati jalur belokan yang curam, jenjang kaki Loka sudah tak mampu menahan keseimbangan badan lagi dan membuatnya seketika jatuh terbanting ke arah samping kursi trem.
Sialnya, kursi trem itu ada penghuninya. Dalam kata lain, Loka tidak hanya menabrak objek kursi melainkan entitas mengerikan berupa bayangan seseorang tanpa wujud nyatanya. Sialnya lagi, wujud yang sepertinya dapat ditembus oleh tangannya kalau saja gadis itu berani menyentuh makhluk itu–nyatanya, subjek itu dapat disentuh. Tiap-tiap porinya yang membuka lebar, berhasil menangkap suhu hangat yang asing dari lawan interaksi. Ia makin yakin bahwa badannya telah bertabrakan dengan ‘seseorang’ setelah mendapatkan sensasi terpental dari ‘punggung lebar’ dewasa muda yang rajin berlari tiap pagi.
Betul-betul sorot maniknya makin membulat kejut. Ia kini duduk merosot memandangi bayangan itu sedang menegakkan badannya perlahan, mengarahkan kepalanya ke samping kemudian menundukkan kepala itu mengarah pada letak jatuhnya Loka. Kalau saja bayangan itu memiliki air muka, sepertinya mereka berdua sudah berhasil bertukar pandang dengan normal. Dengan tegukan air ludahnya yang cukup intens, denyut jantung yang tiap detik makin dipercepat hingga suara-suara manusiawi itu mampu didengar oleh indra pendengarannya sendiri–sudah menjadi validasi paling nyata bahwa dirinya sedang meghadapi situasi di luar kendalinya.
Laringnya tercekat, ia tak bisa berteriak, yang bisa ia lakukan hanyalah terpejam, mengepalkan telapak tangannya–seolah berusaha menyalurkan kekuatan untuk dapat melakukan pemberontakan. Nyatanya sekujur badannya terus saja membeku.
“Sampai kapan dirimu harus memejamkan mata?”
Eh?
Barusan menyeruak suara yang normalnya berasal dari manusia. Kedua kelopak matanya masih terasa berat untuk terbuka. Ia belum yakin harus mendapati sosok yang sama layaknya Glitch di sekolahnya.
Loka tercenung.
Layaknya seorang manusia yang sedang menggenggam pergelangan tangannya, ia kembali merasakan sensasi hangat dari genggaman tangan sosok tanpa eksistensi itu. Refleks, ia membuka mata–air muka bayangan itu berada pada jarak yang sangat dekat dari sudut pandangnya. Sontak ia menahan nafas, kedua bola mata membelalak tajam, ditambah degup jantungnya sejenak berhenti berdetak hingga hampir membuatnya serangan jantung kalau saja ia memiliki jantung yang lemah–hanya saja kejadian itu membuat nafasnya menjadi lebih pendek.
“Oh, maafkan aku.” Figur entitas asing itu kini terlihat menjatuhkan kedua jenjang kakinya ke permukaan, terdengar suara hantaman pelan dari efek benturan kedua lutut yang jatuh. Pupil Loka masih konsisten terbelalak mengamati tiap pergerakan makhluk di depannya yang benar-benar mirip seorang manusia. “Ikuti diriku.” Kini beralih indra pendengaran Loka yang menjadi ‘pengamat’. Ia menangkap suara tarikan dan hembusan nafas berkali-kali. Sepertinya makhluk itu sedang mengajarinya cara bernafas kepada seorang manusia asli.
Lagaknya benar-benar mirip manusia.