Yakin saja, mereka itu perampok
~
“Huuuhh, aku bisa gila.”
Rengekan kecil yang diselingi helaan nafas frustasi itu menguar dari bibir mungil seorang gadis. Badannya terlentang menghadap hamparan gemerlapnya langit yang begitu ramai. Langit itu bukanlah ramai berkat pernak-pernik bintang seperti biasanya, melainkan ada begitu banyak objek yang kini makin membuat Loka pusing setelah kejadian di luar akal sempat dialaminya selama beberapa waktu ini dengan durasi yang begitu bertubi-tubi menyambutnya tanpa aba-aba.
Sebelumnya ia sudah menghadapi makhluk Glitch, hadirnya trem yang menjemputnya di sekolah tanpa rel, bahkan sosok-sosok bayangan yang nyatanya memiliki karakter yang kontras dengan visual mengerikannya–dan semua itu sudah cukup mengejutkan jantungnya. Namun, lihatlah … Loka makin yakin bahwa dirinya membutuhkan seorang psikiater untuk mengatasi halusinasinya saat ini.
Banyaknya transportasi trem dengan maksimal dua gerbong yang bergandengan sedang berlalu-lalang tanpa rel, tampak menghiasi hamparan antariksa yang seharusnya sepi tanpa pergerakan objek asing yang cukup mengejutkan. Jumlahnya tak terdefinisi, pemandangan itu mirip dengan hilir-mudiknya transportasi darat yang menyuarkan lampu di setiap sisi badan kendaraannya di jalan raya.
Selain melihat keanehan trem yang bisa melaju tanpa keberadaan rel atau setidaknya rel gantung, secara kasat mata–ia melihat berbagai pintu juga ikut mengambang seperti dirinya hanya saja pintu itu tegak secara vertikal tanpa terombang-ambing dengan model yang sama, yaitu pintu kayu setinggi dua meteran yang dipoles warna biru laut.
Pintu-pintu itu tersebar secara acak dan dari betapa sibuknya seliweran trem-trem, Loka mendapati sebuah trem sedang menghentikan lajunya. Lantas gadis itu menyipitkan matanya, berusaha menajamkan pandanganya lebih terfokus. Sontak pupilnya membulat besar setelah mendapati satu sosok bayangan sedang menurunkan kedua jenjang kakinya dari trem ke hamparan langit.
“Aih, kau akan terjatuh seperti …” baru saja Loka ingin melanjutkan kata-nya, ia mendapati kalau sosok itu tak terjatuh mengambang terombang-ambing seperti dirinya malah sosok bayangan itu tampak berjalan tanpa permukaan menuju jalur yang kalau dilihat-dilihat ada sebuah pintu di ujung jalannya. “... diriku. Aih, sepertinya memang hanya aku yang seperti ini.”
Pandangan Loka masih tak kunjung lepas dari pergerakan bayangan itu. Dengan tatapannya yang tajam, ia menangkap seorang perempuan sedang menyambutnya di hadapan pintu–mereka saling membungkukkan badan, berjabat tangan kemudian si perempuan mempersilahkan sosok itu memasuki pintu di ujung. Disitulah pengamatan Loka berakhir.
Ia kembali melemparkan pandangannya ke atas, memandangi seliweran trem-trem yang masih sibuk melaju dan ada juga yang berhenti tetapi tidak ada makhluk konyol terjatuh mengambang seperti dirinya.
Namun, ada objek asing lainnya yang terlihat berbeda dari yang lain. Loka segera menyipitkan kedua matanya lagi. Makin lama, objek asing itu sedang terjun bebas–entah dari mana–mendekat ke arahnya.
“Ya ampun, aku tidak ingin jantungku dibuat lemah lagi.””
Bibir mungilnya komat-kamit tak karuan, kelopak matanya sontak terpejam karena tak ingin mendapati kejutan yang diberikan tanpa aba-aba. Kejutan seperti itu membuat jantungnya tak sehat, ia sangat payah menghadapi sesuatu yang berada di luar kendalinya.
Tanpa Loka sadari, seorang lelaki–yang ternyata merupakan pelaku si terjun bebas itulah dengan hitungannya yang akurat, menghentikan gerakan terjun bebasnya seperti sedang mengerem kendaraan.
Selayaknya sugar glider, lelaki itu merentangkan kedua lengan panjangnya, kemudian menghadapkan badannya agak condong dengan Loka. Dari sudut pandangnya, ada raut gusar di setiap lekukan wajah Loka.
“Aku yakin kalau Swa dan kondektur sudah memberitahumu untuk berhati-hati saat turun. Tapi kenapa kau bisa terjatuh?” Suara yang terdengar manusiawi itu belum cukup meyakinkan batin Loka untuk segera memerintahkan otaknya membuka kedua kelopak matanya kemudian menangkap wujud sosok baru. Meski indra penglihatannya tertutup, ia merasakan bahwa sosok di hadapannya itu sedang mendekatkan dirinya. Permukaan wajahnya seolah disapu oleh hembusan nafas hangat seseorang dan nafas itu stabil.
Loka yang mulai tak nyaman akibat hembusan nafas hangat yang menerpa wajahnya itu, lantas menutupinya dengan kedua telapak tangannya. Lelaki yang mendapati sikap tak nyaman Loka mulai mengambil jarak agak menjauh dan ketegangan Loka pun perlahan menurun.
“Tak usah takut. Wajahku tak mengalami galat seperti yang lainnya. Lagipula aku yang mengaturnya.” Lelaki itu masih sabar menunggu respon Loka yang hanya terdiam. Ia sedikit menghela nafas. “Yah, aku paham kalau kau ketakutan setelah mendapati sosok bayangan yang mengerikan.”
Dibalik telapak tangannya, reaksi Loka kini terkesiap. “Ba … bagaimana kau tahu kalau diriku baru saja bertemu dengan sosok bayangan?”
“Karena aku penghuni Kosmus.” Lelaki itu tertawa remeh. “Pertanyaan konyol.” sindirnya. Ia menelengkan kepala, memperhatikan tiap-tiap helaian rambut panjang gadis itu sedang meliuk-liuk terambang. “Aku heran kenapa kau tidak bisa menegakkan badan?”
“Apa?”
Sontak saja respon Loka itu memancing sedikit kekesalan dalam diri lelaki itu. “Sudah kubilang, bukalah matamu baik-baik! Ya ampun, baru saja pertemuan pertama kau sudah membuatku gemas.”
Celotehan seseorang di hadapannya ini cukup memancing rasa penasaran Loka. Di antara celah-celah jarinya, ia membukanya sepersekian mili, memicingkan kelopak matanya tuk menembus pandangan ke luar dan ia dapati perawakan seorang lelaki normal layaknya manusia. Ah tidak, mungkin lebih tepatnya sosok manusia pertama yang ia temui setelah peristiwa di lapangan sekolahnya.
Bahkan dari celah sesempit itu, Loka mampu melihat perawakan lelaki itu cukup jelas. Dia memiliki potongan rambut pendek dengan helaian rambut bagian depannya yang disampirkan secara acak setidaknya memberi kesan ramah dan santai. Tapi, apa benar begitu? Mengingat barusan saja lelaki itu sedikit meninggikan nadanya karena agak kesal melihat sikap Loka.
Dan tentu saja lelaki itu menyadari bahwa dirinya sedang diamati oleh dua buah biji pupil coklat legam. Ia terlihat menyeringai, badannya yang melayang dalam keadaan stabil–dicondongkan olehnya tuk memberi gerakan melaju, lantas ia mendekatkan wajahnya dengan hanya menyisakan lima jengkal jari dari punggung tangan Loka. “Sekarang kau baru percaya kalau wajahku tidak galat seperti layar rusak maupun berupa bayangan saja?” sindirnya dengan senyuman mengejek.
Loka masih tak ada jawaban, tapi entah darimana lelaki itu tahu bahwa gadis itu pasti sedang merasakan malu karena perasaan bersalah sebab justru ia tidak marah lagi walaupun gadis di hadapannya tidak memberikan respon atau setidaknya anggukan kepala saja.
“Nah, sekarang tempelkan kedua telapak tanganmu dengan milikku.” ujarnya lembut.
Perlahan, jari-jemari Loka mulai bergerak menjauh dari permukaan wajahnya hingga secara keseluruhan keduanya dapat saling bertukar pandang seutuhnya. Loka seolah tenggelam dalam manik almond lelaki di depannya. Kedua alis yang terukir tajam sekaligus simetris makin menambah kesan tatapan yang begitu intens ditambah dengan visual rahang tegasnya, Loka makin mempercayai perkataan bayangan yang sempat ditemuinya di trem tadi bahwa dirinya akan menemui seseorang disini.
Dan benarlah, mungkin sosok lelaki di depannya inilah yang merupakan aktor atau barangkali sang sutradara di Kosmus. Dunia sialan yang membuatnya harus merasa kebingungan dan terkejut tanpa aba-aba sekalipun.
Namun, terlepas dari peran apapun yang bakal dipegang oleh lelaki di depannya itu–sungguh penampilan itu layak menjadi pemeran utama dalam sebuah teater. Tatapan lelaki itu memiliki fokus yang mendalam, bahkan mungkin kalau saja dirimu berceloteh hal-hal yang tak jelas–dia akan terus memperhatikan dirimu dengan seksama, memperlakukan dirimu laksana satu-satunya manusia di muka bumi yang patut disayangi hanya melalui tatapan yang diberikan olehnya.
Namun, Loka harus membuyarkan lamunan yang sempat menghipnotisnya.
“Kau benar. Hanya dirimu saja yang normal.”
Lelaki itu, untuk pertama kalinya tersenyum. “Apa kau ingat arahanku tadi?”
“Oh? Ah, tentang menempelkan tanganku dengan milikmu?” Lelaki itu mengangguk.” “Baiklah.”
Selepas Loka menempelkan telapak tangannya, lelaki itu segera menautkan jari-jemarinya–membuat kedua makhluk itu terlihat saling bergandengan tangan dan Loka hanya bergeming tanpa protes karena kenyataannya, gadis itu sedang mengontrol fokus untuk menstabilkan deru jantungnya lebih normal. Salahkan lelaki itu, sebab dirinya tak pernah berjabat tangan seintens itu dengan lawan jenisnya.
Begitu tangan mereka saling bertaut erat, lelaki itu memberi sedikit tarikan–sontak membuat badan Loka tegak terdorong ke arahnya, dan gadis itu telah berada pada posisi yang tepat.
Loka berhasil berdiri di tengah-tengah hamparan langit. Entah apakah Kosmus itu merupakan planet atau sejenisnya, pastinya mungkin terdapat oksigen sebab sampai detik ini pernafasan Loka normal-normal saja. Keanehannya hanya terletak pada gravitasinya.
“Posisi kita berdua sudah bagus, jadi waktunya memperkenalkan diri.” Lelaki itu mengelus hidungnya sejenak. Tangan kanannya disampirkan ke dadanya, kemudian ia membungkuk salam kepada Loka. “Namaku Linden, saat ini aku berperan sebagai sutradara dalam ceritamu di Kosmus.”
Loka terdiam. Dan Linden kembali kesal.
“Apa salahnya memberi respon?” Lelaki itu memang melemparkan senyum, tapi tidak dengan nadanya. Tidak ada kesan ramah dalam tanya-nya, tapi mungkin ia sedang melemparkan retorika.
“Ah, maaf.” Loka canggung jika dirinya harus membungkukkan separuh badannya seperti Linden. Jadi, gadis itu hanya menganggukkan kepala kemudian berkata, “Aku Loka. Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan tentang gadis di sekolahku, trem aneh, dan …” ia menyapu pandangannya ke penjuru seluk-beluk dunia yang hanya dipenuhi oleh sebaran pintu acak dan trem. “... ini semua.”
Linden berkacak pinggang. Ia terlihat berpikir sejenak, kemudian melayangkan matanya ke atas sambil menunjuk sebuah pintu. Tanpa perintah, refleks Loka mengikuti arah tunjuknya.
“Kita pindah ke jalur pintu disana saja, ya? Kau itu habis terjatuh dari trem!” gemasnya kesal. “Untung saja jalur kau jatuh bukanlah jalur trem, kalau tidak …” lelaki itu menggelengkan kepalanya, sambil berdecak dengan maksud mengusili gadis di depannya. “... wuush kau bisa mati, Nona kecil.”
Dan tak seperti biasanya, Loka sepertinya telah melahap lelucon yang entah serius atau sekadar candaan itu. Kalaupun memang candaan, maka orang itu kurang ajar. Siapa yang berani membuat topik kematian sebagai lelucon?
Loka pun meneguk lidah. “Memangnya dunia ini bisa mengambil nyawa kita?”
Linden kembali menggeleng. “Bukan kita,” lelaki itu lantas menunjuk Loka sambil berujar, “tapi si Nona kecil.”
“Jadi, jawabannya … bisa?”
Linden mengangguk. “Tapi disini hukumnya seperti permainan online. Contohnya, kalau avatar yang kau mainkan dalam permainan online mati, kau bisa pilih ‘mulai kembali’ dan jreeng avatarmu hidup lagi. Paham?”
Loka yang sudah kehilangan tenaga dan batinnya yang terkuras kosong, hanya bisa mengangguk sekali. Itupun anggukan kepalanya sangat lemas.
“Ulurkan tanganmu, Nona.”
“Kenapa mendadak sopan dan menyebutku Nona?”
Linden tersenyum bisnis. “Karena mulai detik ini, pekerjaanku sudah dimulai. Nah, aku mengharapkan kerja samanya, Nona.” Ia membuka telapak tangannya, dan Loka mau tak mau menerima uluran tangan itu. “Jangan terkejut ya. Sensasinya seperti … hmm, apa Nona pernah menaiki paralayang?”