NAMAKU Pandu. Sudah hampir empat tahun aku menjadi mahasiswa Kampus Marun.
Nama itu tentu saja bukan nama asli kampusku. Marun, konon asal muasalnya dari bahasa Prancis yang bermuasal dari bahasa Ibrani untuk menyebut pohon berangan, tapi jika kau sudah mengetahui hal itu dan kemudian menduga kampusku dinamai demikian disebabkan adanya hubungan erat dan mesra antara kampusku dengan pohon berangan semisal bahwa lahan kampusku dulunya adalah perkebunan pohon berangan maka kau akan kaget dan menyesal telah berpikir terlalu rumit. Penyebab sebenarnya sungguh sederhana dan sama sekali tak ada hubungannya dengan berangan jenis apa pun: warna cat kampusku merah tua kecokelat-cokelatan.
Sangat bersahaja, pada kebersahajaan itulah pedengan kampusku dirujuk, menyalahi sejarah penamaan Majapahit, Majalengka, dan beberapa daerah lain yang memiliki kaitan nama dengan Maja dan nama semacamnya pemberian alam. Lantas sebagai seorang Indonesia yang sadar sesadar-sadarnya maka kau seharusnya tahu nama itu belum menjadi entri tersendiri dalam KBBI terbaru dan hanya hadir sebagai pasangan merah: merah marun, dijelaskan sebagai warna merah tua, paduan cokelat dan ungu.
Maka begitulah seterusnya aku akan menyebut kampusku itu sebagai Kampus Marun sebagaimana memang kampusku lebih tenar dengan nama itu sejak dahulu kala yang barangkali. Di telatah Yogyakarta tindakan semacam itu hal biasa, sebagaimana misalnya ada kampus UGM yang lebih terkenal dengan nama kampus biru sebermula jilid pertama trilogi Cintaku di Kampus Biru Ashadi Siregar, ataupun kampus UIN Sunan Kalijaga yang lebih terkenal dengan sebutan kampus putih karena warna cat kampus tersebut memang putih. Dulu.
Pendiri kampusku seorang pengagum Bung Karno bernama Ir. Salman Rusdi bersama dua kawannya yang juga pengagum si Bung meski tak semilitan dia dan perannya kalah dominan. Kau yang jeli pasti tahu pemilik nama itu lahir di Indonesia sehingga sama sekali tak sama dengan penulis yang dikutuk orang karena gibah The Satanic Verses dan bukan karena foto dia dipajang dalam jaket buku edisi awal beraut mabuk berat. Di depan kampusku, pahatan wajah Ir. Salman Rusdi berdiri kokoh lengkap dengan penanda tahun kehidupannya seperti di halaman kover buku yasin.
Nama asli kampus Marun adalah kampus USY, dibaca u es ye, bukan usi dan tanpa dobel huruf S sebab nama kampusku bukan nama selebriti dan juga tidak bertempat di Pematang Siantar.
USY.
Universitas Sabur Yogyakarta.
Kau mungkin perlu membuka kamus untuk mengetahui arti kata Sabur, tapi bagi aku dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bernaung sentosa di bawah tiga huruf itu, kamus tidak diperlukan sebab kami sudah membaca keterangannya yang seru di dalam buku panduan OPM.
Kau mungkin mengenal OPM dengan nama lain di kampusmu sebagaimana juga mengenal singkatan tersebut sebagai sebutan untuk konotasi negatif terkait separatisme, tetapi di kampusku nama itu singkatan dari Orientasi dan Perkenalan Mahasiswa. Buku panduan OPM adalah buku wajib yang sudah dimasukkan biaya kewajibannya dalam total nominal pembayaran wajb semua mahasiswa anyar kampus Marun bersama dengan jas almamater dan KTM, Kartu Tanda Marun. Buku wajib tersebut untuk angkatanku tahun 2008 dicetak dalam wujud buku warna jambon setipis 147 halaman termasuk dua lembar halaman kosong di paling belakang. Dua lembar terakhir itu aslinya mungkin diperuntukkan catatan-catatan naif tetapi dengan sangat anehnya kata yang tertulis dengan model rata tengah di bagian atasnya adalah Kotes dan bukan Notes sebagaimana lazimnya.