Di kampusku ada sebuah kantin tempat aku dan kawan-kawan akrabku biasa berkumpul. Kantin itu terletak di belakang kampus, tepat di samping pohon akasia besar yang konon sudah ada jauh sebelum kampusku berdiri. Di kalangan mahasiswa dan semua manusia selain mahasiswa yang rutin hilir mudik masuk ke kampus Marun, kantin itu terkenal dengan sebutan kantin Diangklek.
Asal-usul penentuan nama dan lokasi kantin di samping pohon akasia besar itu sendiri simpang siur. Sebagaimana hal-hal berkaitan historis di negeri ini, historisitas kantin diangklek pun sudah tercampur gibah dan propaganda. Ada yang mengatakan kantin tersebut didirikan tujuh tahun setelah kampus Marun berdiri dengan dana dari rezim Orde Baru setelah penguasanya mendapatkan sebilah keris dengan gagang berbentuk kepala harimau dari penunggu pohon akasia besar itu. Sementara nama kantin didapatkan dari makian sang penunggu pohon saat menyerahkan keris terkait. Lantas karena pihak kampus tetap ingin menjaga independensi dari campur tangan negara, dana dari negara dialokasikan untuk membangun kantin.
Namun, menurut buku panduan OPM, setelah uraian sejarah singkat kampus USY dan uraian simbolis tak singkat mengapa warna marun menjadi warna kebangsaan kampusku, dikutip hasil survey The Sunday Times bahwa bangunan berpintu warna marun dan hitam adalah rumah-rumah yang paling susah ditembus tamu tak diundang. Pihak kampus menganggap Orde Baru dengan dananya adalah pihak tak diundang, maka menyesuaikan filosofi pintu warna marun tersebut, dana bantuan lantas digunakan membangun Kantin Diangklek.
Karena penasaran, aku melakukan pengecekan dan mendapati bahwa kemungkinan penjelasan buku panduan OPM itu kibul belaka, ditambahkan selepas tahun 2000. Survey The Sunday Times dilakukan tanggal 24 Mei 1998, yakni pada masa Soeharto sedang ditarik dari kursinya oleh kasus Semanggi.
Namun menghabiskan waktu untuk memperkarakan kebohongan para birokrat kampus dalam hal ini bukan hal istimewa sebab hal demikian tetap saja tak bisa menghilangkan kenyataan bahwa kantin itu masih berdiri megah sampai sekarang, di samping pohon akasia yang penunggunya mengumpat diangklek sebelum dia kabur meninggalkan keris dengan gagang berbentuk kepala harimau, dan itulah yang penting. Jika kau duduk di akar-akar pohon yang menyembul besar, licin mengkilap karena memang duduk di sana demikian terasa nyaman, maka kau akan melihat di ufuk yang tak terlalu jauh sebuah kubah warna kuning emas dan pucuk minaret dari masjid kebanggaan kampus marun.
Terkadang di saat-saat tertentu aku ikut berjamaah di masjid itu. Terkadang, artinya tak selalu, dan kau harus mengaku bahwa kau juga sama denganku. Kau pasti tak punya alasan kuat sementara aku punya, sebab aku bukan kau dan kau bukan aku. Meski demikian kau pasti setuju jika aku katakan bahwa memang ada sesuatu yang terasa tak akrab dengan kita dalam apa yang kita sebut masjid saat ini. Bisa jadi hal tersebut berhubungan dengan bangunannya yang terbentuk dari tembok tebal, atau dalam kubahnya yang keemasan, atau dalam lengkung atapnya yang tak Indonesia.