Utas tak kasat mata yang menghubungkan Lyra dan Orion semakin menebal seiring waktu dan pertukaran pesan rahasia yang mereka simpan rapat. Kepercayaan, sesuatu yang langka sekaligus berisiko di Neo-Jakarta, mulai tumbuh perlahan—dipupuk oleh keberanian berbagi kerentanan dan kesadaran diam-diam bahwa mereka berdua adalah anomali dalam sistem yang katanya sempurna.
Ruang virtual yang mereka ciptakan—entah berupa sudut jaringan terenkripsi atau simulasi tempat sunyi terinspirasi dari perpustakaan kuno—menjadi satu-satunya titik di mana mereka boleh menanggalkan sebagian logika mereka. Di sana, mereka menelusuri makna teks-teks kuno yang berbicara dalam bahasa yang telah lama dikubur: bahasa tubuh, hati, dan jiwa.
Mereka membaca tentang bentuk interaksi fisik yang bukan sekadar instrumen biologis atau rutinitas teknis, melainkan bentuk komunikasi yang lebih dalam. Teks-teks tersebut menyebutkan bahwa sentuhan bukan hanya tindakan, melainkan juga ungkapan. Ada istilah seperti zona sensitif emosional, atau sentuhan penuh makna—gambaran yang jauh dari standar KJP di Neo-Jakarta yang mekanistik dan berorientasi fungsi semata.
Lyra mencatat, “Parameter ‘pemujaan’ dalam konteks sentuhan tidak memiliki relevansi langsung dengan fungsi reproduksi. Ini cenderung bersifat simbolis dan emosional.”
Orion mengangguk pelan dalam ruang virtual. “Namun teks ini menyebut sentuhan sebagai sarana membangun kepercayaan dan kedekatan emosional. Seolah-olah tubuh adalah jembatan menuju koneksi yang tak bisa diakses melalui data semata.”
Mereka menyadari bahwa tanpa pengalaman nyata, semua ini hanya akan tetap berupa teori. Maka, ketika mereka kembali bertemu—kali ini dalam lorong pemeliharaan bawah tanah yang lembap dan gelap—udara terasa sarat pertanyaan yang belum terjawab. Bukan lagi hanya diskusi; mereka kini berdiri dalam ruang fisik yang sama.