Gema langkah kaki dan dengungan pemindai di terowongan bawah tanah yang ditinggalkan itu terus menghantui pikiran Lyra dan Orion lama setelah mereka kembali ke realitas steril dunia masing-masing. Insiden nyaris tertangkap itu adalah pengingat brutal akan bahaya yang mengintai di setiap sudut. Mata sistem kini benar-benar terjaga, mengawasi setiap gerakan mereka. Paranoia bukan lagi sekadar firasat; itu adalah respons logis terhadap ancaman yang nyata dan semakin dekat.
Ketakutan ini meresap ke dalam setiap aspek interaksi rahasia mereka, yang kini terpaksa terbatas pada ruang-ruang virtual terenkripsi yang mereka bangun dengan susah payah. Pertemuan fisik menjadi terlalu berisiko. Bahkan dalam simulasi perpustakaan kuno atau lanskap digital abstrak yang mereka ciptakan, ketegangan terasa berbeda. Percakapan mereka seringkali dimulai dengan pertukaran protokol keamanan terbaru, analisis potensi celah pengawasan, dan laporan aktivitas mencurigakan yang mereka amati di lingkungan masing-masing. Romantisme semu dari penemuan awal telah menguap, digantikan oleh realitas suram perjuangan bawah tanah.
Bagi Lyra, ketakutan itu terasa lebih mencekik. Sebagai seorang Gamma, ia tidak memiliki jaring pengaman seperti Orion. Kesalahan sekecil apapun bisa berarti akhir dari eksistensinya seperti yang ia kenal. Pusat Rekalibrasi Emosional adalah momok nyata—tempat di mana deviasi dihapus paksa, memori diubah, dan kepribadian disetel ulang sesuai standar kepatuhan sistem. Gambaran kehilangan dirinya, menjadi cangkang kosong yang efisien, membuatnya berkeringat dingin di malam hari di kapsul tidurnya yang sunyi.
Logikanya, bagian dirinya yang telah ditempa oleh sistem seumur hidupnya, berteriak tanpa henti. Ini irasional. Ini berbahaya. Kembali ke baseline. Laporkan anomali Orion. Hapus file terenkripsi itu. Selamatkan dirimu selagi bisa. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mencari ketenangan dalam aliran data yang bersih dan terstruktur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa perasaan aneh yang muncul saat berkomunikasi dengan Orion—rasa hangat saat Orion menunjukkan empati, debaran jantung saat mereka nyaris tertangkap, rasa ingin tahu yang membara tentang konsep "cinta"—hanyalah glitch biokimia, respons syaraf yang salah akibat stres atau kurang tidur.
Namun, setiap kali ia mencoba kembali sepenuhnya pada logika dingin, bayangan teks-teks terlarang itu muncul kembali. Gambaran tentang koneksi emosional yang mendalam, tentang kebahagiaan autentik yang lahir dari penerimaan dan kerentanan. Tentang sentuhan yang bukan sekadar fungsi, tapi bahasa jiwa. Tentang keintiman yang membebaskan, bukan sekadar kewajiban biologis. Apakah semua ini hanya fiksi kuno? Atau apakah ini representasi dari sesuatu yang nyata, sesuatu yang telah dicuri oleh sistem dari kemanusiaan mereka?
Keraguan itu menggerogotinya. Dunia yang ia kenal—dunia logika, efisiensi, dan keteraturan—mulai terasa… kurang. Hampa. Seperti makanan nutrisi yang ia konsumsi setiap hari: memenuhi kebutuhan dasar, tapi tanpa rasa, tanpa jiwa. Dan Orion… interaksinya dengan Orion, meskipun penuh risiko dan kecanggungan, terasa lebih nyata, lebih hidup daripada interaksi efisien namun kosong dengan rekan-rekan Gamma-nya atau atasan Beta-nya. Perasaan terlarang terhadap seorang Alpha, sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi menurut semua parameter sosial dan biologis sistem, justru terasa sebagai satu-satunya hal otentik dalam hidupnya saat ini.
Di puncak menara Sektor Alpha, Orion juga berperang dengan iblis keraguannya sendiri. Ketakutan akan konsekuensi jika perannya dalam menyembunyikan teks terlarang ini terungkap begitu besar. Statusnya, privilesenya, seluruh hidupnya yang terstruktur bisa hancur dalam sekejap. Ia adalah bagian dari elite yang menjaga stabilitas sistem; kini ia secara aktif menyembunyikan pengetahuan yang bisa meruntuhkan sistem itu. Pengkhianatan ini membebani hati nuraninya—atau apapun sisa-sisa nurani yang belum sepenuhnya terkikis oleh logika Alpha.
Setiap kali ia duduk dalam rapat dewan pengawas algoritma, mendengarkan presentasi tentang peningkatan efisiensi penekanan deviasi emosional, ia merasakan mual yang tidak logis. Setiap kali ia melihat laporan AKS yang menandai seorang warga karena menunjukkan tingkat "empati" atau "kasih sayang" yang berlebihan, ia merasa seperti kaki tangan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Dunia yang dulu tampak begitu jelas dan benar kini terlihat abu-abu, penuh dengan kontradiksi moral yang coba ia abaikan.