Kota Algoritma

Shabrina Farha Nisa
Chapter #8

Nyaris Terbongkar

Paranoia telah menjadi selimut tipis yang membungkus setiap interaksi rahasia antara Lyra dan Orion. Ketakutan akan 'Mata Mengawasi' memaksa mereka untuk semakin mengurangi frekuensi dan durasi pertemuan virtual mereka. Ruang simulasi perpustakaan kuno yang dulu terasa seperti tempat perlindungan kini terasa rapuh, seolah dinding digitalnya bisa runtuh kapan saja di bawah tekanan pengawasan sistem yang semakin intensif. Setiap koneksi terasa seperti pertaruhan nyawa, setiap pertukaran data dibayangi kecemasan akan intersepsi.

Namun, ironisnya, bahaya yang semakin nyata itu justru memperdalam kebutuhan mereka akan koneksi terlarang tersebut. Di tengah dunia Neo-Jakarta yang dingin dan penuh curiga, ruang virtual rahasia itu, betapapun berbahayanya, telah menjadi satu-satunya tempat di mana mereka bisa menjadi diri mereka yang mulai terbangun—individu yang merasakan, mempertanyakan, dan merindukan sesuatu di luar logika efisiensi. Teks-teks kuno itu terus menjadi panduan mereka, menawarkan bahasa untuk memahami gejolak internal yang mereka alami.

Mereka mulai berani mendiskusikan konsep yang lebih dalam lagi, yang paling subversif: hakikat kebahagiaan dan kebebasan emosional. Teks-teks itu menyiratkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari emosi yang ditekan dan kehidupan yang dioptimalkan, melainkan dari penerimaan spektrum emosi yang utuh—termasuk rasa sakit, kesedihan, dan keraguan—serta kemampuan untuk terhubung secara autentik dengan orang lain.

"Teks ini berbicara tentang 'kebebasan jiwa'," avatar Orion berkata dalam salah satu sesi virtual mereka yang singkat dan tegang. "Bukan kebebasan fisik dari batasan materi, tapi kebebasan untuk merasakan tanpa penghakiman, untuk mencintai tanpa syarat algoritma. Sebuah konsep yang... revolusioner."

"Dan berbahaya," tambah avatar Lyra. "Sistem kita dibangun di atas premis bahwa emosi yang tidak terkontrol adalah sumber kekacauan. Kebebasan yang digambarkan teks ini adalah antitesis dari stabilitas."

"Tapi apakah stabilitas yang kita miliki ini sepadan dengan... kehampaan?" tanya Orion lirih, sebuah pertanyaan yang semakin sering menghantuinya.

Diskusi mereka semakin filosofis, semakin jauh menyimpang dari parameter logis yang seharusnya mereka patuhi. Mereka mulai berbagi mimpi-mimpi samar tentang dunia yang berbeda, dunia di mana tawa lepas tidak memicu alarm, di mana air mata tidak dianggap sebagai malfungsi, di mana sentuhan adalah ekspresi kasih sayang, bukan sekadar fungsi biologis atau transaksi sosial.

Mungkin karena intensitas emosional dari diskusi-diskusi inilah, atau mungkin karena kecanggihan algoritma AKS yang terus belajar, sistem akhirnya menemukan jejak yang lebih signifikan. Bukan lagi sekadar korelasi data anomali, tapi sesuatu yang lebih konkret.

Insiden itu terjadi saat sesi virtual terjadwal mereka berikutnya. Mereka sedang membahas bagian teks yang melukiskan pengalaman puncak keintiman—"orgasme dahsyat"—sebagai momen "peleburan dua jiwa", sebuah pengalaman spiritual sekaligus fisik yang membutuhkan kepercayaan mutlak dan penyerahan diri total. Konsep ini begitu asing, begitu kuat, hingga diskusi mereka menjadi sangat intens, mungkin tanpa sadar menciptakan lonjakan energi emosional-digital yang tidak biasa dalam simulasi mereka.

Tepat di tengah kalimat Orion tentang bagaimana teks itu mengaitkan "penyerahan diri" dengan "pembebasan", alarm intrusi berbunyi nyaring di interface virtual mereka. Bukan alarm tingkat rendah seperti yang pernah mereka alami sebelumnya, tapi alarm merah menyala dengan kode prioritas tertinggi: Pelanggaran Keamanan Kognitif Terdeteksi. Sumber: Divisi Kepatuhan Emosi Pusat.

Dunia virtual di sekitar mereka mulai berkedip, goyah. Dinding perpustakaan kuno retak, memperlihatkan barisan kode matriks hijau di baliknya. Suara statis keras memenuhi pendengaran mereka.

Lihat selengkapnya