Kota Algoritma

Shabrina Farha Nisa
Chapter #9

Dalam Pelarian

Neo-Jakarta berdenyut dengan alarm sunyi setelah pelarian ganda yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di pusat komando AKS, algoritma bekerja lembur, memproses data anomali dari Distrik 7 dan Sektor Alpha, mencoba memetakan kemungkinan rute pelarian Unit 734-Gamma-Lyra dan Unit 12-Alpha-Orion. Wajah mereka, yang tadinya hanya nomor identifikasi dalam sistem, kini menjadi fokus utama—simbol pemberontakan tak terduga terhadap tatanan logika yang sempurna. Peringatan Tingkat Merah aktif, patroli drone diperbanyak, titik pemeriksaan acak didirikan di jalur-jalur transportasi utama, dan bounty digital yang signifikan ditawarkan bagi siapa saja—manusia atau AI—yang memberikan informasi valid mengenai keberadaan mereka. Perburuan telah dimulai dengan skala penuh.

Bagi Lyra, dunia bawah tanah Neo-Jakarta adalah labirin logam, beton, dan kabel yang asing namun entah bagaimana terasa membebaskan. Kekacauan sementara yang ia ciptakan di jaringan Distrik 7 memberinya jendela waktu sempit untuk menghilang ke dalam sistem servis kota yang luas dan terlupakan. Mengandalkan pengetahuannya tentang arsitektur jaringan dan peta infrastruktur usang yang pernah ia pelajari iseng (sebuah tindakan inefisiensi yang kini menyelamatkan nyawanya), ia bergerak cepat melalui terowongan sempit yang berbau ozon dan debu. Cahaya hanya berasal dari lampu LED darurat di datapad-nya atau pendaran samar kabel serat optik tua.

Setiap suara terasa mengancam—dengungan jauh kipas ventilasi raksasa, tetesan air misterius dari pipa berkarat, gemerisik yang mungkin hanya tikus mutan penghuni terowongan, atau mungkin juga drone pengintai mikro yang menyelinap tanpa suara. Logikanya yang terlatih terus menghitung probabilitas deteksi, menganalisis rute teraman, menghemat energi sel datapad-nya yang berharga. Tapi kini ada variabel baru dalam kalkulasinya: harapan samar untuk bertemu Orion di titik pertemuan, dan ketakutan mendalam akan apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka tidak berhasil. Emosi—variabel pengganggu itu—kini menjadi bagian tak terpisahkan dari algoritma bertahan hidupnya.

Ia harus meretas beberapa pintu akses pemeliharaan, mem-bypass sensor gerak tua, dan bahkan menonaktifkan sementara satu unit sanitation bot pembersih terowongan yang hampir menabraknya di persimpangan gelap. Jari-jarinya, yang biasa menari di atas konsol holografik steril, kini kotor oleh debu dan minyak, tapi gerakannya tetap presisi saat ia menghubungkan datapad-nya ke panel akses darurat, menjalankan skrip bypass yang ia tulis dengan tergesa-gesa. Setiap keberhasilan kecil terasa seperti kemenangan besar, setiap pintu yang terbuka adalah langkah menjauh dari sangkar logikanya.

Sementara itu, Orion merasakan realitas yang berbeda namun sama kerasnya di sistem pembuangan limbah kota. Bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya, membuatnya mual. Kegelapan pekat hanya bisa ditembus oleh lampu senter kecil di kepalanya. Ia harus berjalan membungkuk di lorong-lorong rendah berlendir, sesekali kehilangan pijakan di lantai yang licin. Ini adalah penghinaan total bagi status Alpha-nya, sebuah ironi pahit yang tidak luput dari perhatiannya. Ia, yang terbiasa dengan udara tersaring dan permukaan steril, kini berkubang dalam kotoran harfiah kota yang ia bantu kelola.

Namun, di tengah kondisi menjijikkan itu, Orion menemukan cadangan kekuatan yang tidak ia ketahui dimilikinya. Pelatihan fisik elite yang dulu ia anggap hanya formalitas, kini berguna. Ia bisa bergerak cepat dan relatif senyap, menahan napas saat melewati genangan limbah yang dalam, bahkan berhasil memanjat dinding vertikal yang licin menggunakan tonjolan pipa sebagai pijakan darurat saat mendengar suara patroli di atasnya. Rasa jijiknya perlahan tergantikan oleh fokus primal untuk bertahan hidup. Dan pikiran tentang Lyra—tentang keberaniannya, kecerdasannya, dan koneksi aneh yang terjalin di antara mereka—menjadi bahan bakar tak terduga yang mendorongnya maju. Ia membawa buku kulit itu di dalam lapisan tahan air darurat yang ia buat dari kantong spesimen medis di apartemennya; artefak rapuh itu terasa seperti sauh di tengah lautan kekacauan ini.

Perjalanan mereka menuju Sektor Reruntuhan memakan waktu hampir dua siklus gelap penuh, jauh lebih lama dari perkiraan awal mereka. Kelelahan fisik mulai menggerogoti. Lyra merasakan otot-ototnya yang jarang digunakan menjerit protes. Orion merasakan lapar yang sesungguhnya untuk pertama kali dalam hidupnya, bukan sekadar notifikasi dari AKP bahwa level glukosanya rendah. Mereka berdua mulai meragukan keputusan impulsif mereka. Apakah ini sepadan? Apakah kebebasan jiwa yang samar-samar dijanjikan oleh teks itu layak ditukar dengan perjuangan kotor dan berbahaya ini?

Lihat selengkapnya