Kota Angera

Mayhtt
Chapter #1

Kursi Taman Yang Kesepian

Ada sebuah kursi taman yang terbuat dari kayu berjarak 8-10 meter dari sisi kiri pintu taman bunga ini. The Brave Park. Taman bunga yang terkenal akan keindahannya di kota Angera.

Sebenarnya, kursi taman itu terlihat baik-baik saja. Bentuknya sama dengan kursi taman lainnya. Terdiri dari beberapa potong kayu yang disusun sedemikian rupa secara horizontal dan ditopang dengan kayu yang vertical. Titik-titik paku terlihat menyembul kira-kira satu sentimeter atau lebih dari ujung setiap potong kayu. Warnanya juga sama dengan yang lainnya. Berwarna abu-abu. Ya, kira-kira berwarna abu-abulah. Angin, hujan dan panas matahari sudah memudarkan warna aslinya. Perlu mencari data yang lebih detil lagi untuk menggambarkan warnanya.

Hal yang membuat aneh adalah, sudah sebulan lebih sejak aku pindah ke kota ini dan selalu berjalan-jalan di taman ini pagi atau sore, tapi selama itu pula aku belum pernah melihat ada orang yang mendudukinya. Kursi taman lainnya sekitar 2 atau 3 meter di sebelah kanan dan kiri kursi itu selalu dikunjungi oleh orang-orang walau hanya sekedar memperbaiki tali sepatu. Tapi kursi taman 3 meter di depanku ini selalu dilewati begitu saja. Aku sampai membuat nama panggilan padanya. Kursi taman yang kesepian.

Dugaan awal, mungkin aku melewatkan moment saat ada orang lain yang mendudukinya. Namun, dugaan itu luntur perlahan, melihat bagaimana orang-orang seperti tidak perduli akan kehadiran kursi itu. Membuatku tidak mengerti ada apa sebenarnya.

Sempat muncul terkaan bahwa tempatnya mungkin kurang strategis. Lalu, demi melihat pohon berdaun rimbun yang dengan baiknya berlaku bak payung peneduh, tumbuh berdiri di samping kanan belakang, rasanya anggapan itu tidak benar. Pernah juga muncul prasangka mungkin ada ranjau di sekitar kayu-kayu penopangnya yang mungkin akan meledak seperti bom atom, menghancurkan seisi taman bahkan kota ini, bila ada sedikit tekanan di atasnya. Tapi demi daun-daun berwarna coklat keemasan yang terlentang tidak beraturan dan burung-burung yang kadang bermain-main di atas kayu horizontalnya, pendapat itu pun gugur.

Alasan lain yang lebih tidak masuk akal lagi sudah gugur otomatis karena aku sendiri tidak mengerti mengapa alasan seperti itu keluar dari kepalaku.

Hingga akhirnya sore ini, untuk mengatasi rasa menerka-nerka yang sangat memusingkan ini, aku membuat dua kesimpulan atas kursi itu. Kesimpulan hasil dari perdebatan antara logika dan akal tidak sehatku.

Pertama, kursi itu pasti tidak memiliki kualitas yang baik seperti kursi lainnya. Mungkin dia dibuat dari kayu kualitas terbawah. Sehingga walaupun warna dan fisiknya terlihat sama dengan kursi lainnya, kursi itu sebenarnya sudah lapuk, rapuh dan reot. Jadi akan sangat membahayakan bila harus diduduki.

Kau bisa saja terjatuh atau ambruk tiba-tiba bersama potongan-potongan kayu dan menyebabkan punggungmu sakit bahkan patah. Paling parah, hingga membutuhkan operasi dan akhirnya kau dinyatakan lumpuh total oleh dokter. Lalu kau pun berakhir dengan hidup penuh penyesalan di atas kursi roda seumur hidup hanya karena sebuah kursi lapuk dan reot. Mungkin. Ya mungkin! Untuk argumentasiku yang satu ini aku sangat yakin. Bahkan pasti sudah ada orang yang menjadi korbannya hingga akhirnya membuat kursi itu menjadi sangat malang dengan baluran kesepian. Aku penasaran seperti apa rupa orang yang menjadi korban, dan entah sudah ada berapa jumlahnya.

Tapi, logikaku membantah dengan argumennya yang tajam menusuk langsung ke ulu hati.

Kalau memang kursi taman itu sudah lapuk, reot dan membahayakan, mengapa dia tidak dibongkar saja, dibuang dan diganti dengan yang baru? Atau setidaknya petugas taman menempelkan tanda bahaya diatasnya agar menjadi jelas apa yang terjadi dengannya. Agar orang-orang gila dan kurang kerjaan seperti kau ini tidak harus menghabiskan waktunya hanya duduk untuk berdebat mengenai kursi itu.”

Dari dulu walau aku membenci logika dan lebih menyukai akal tidak sehat alias imajinasi, tapi aku sangat kagum padanya. Logika selalu saja bisa menemukan jalan untuk membuatku tersedak dan mentok pada kebodohan yang tidak kusadari.

Kesimpulan yang kedua adalah, hm...agak sedikit tidak percaya diri mengatakan ini, tapi imajinasi yang sudah semakin tidak karuan dan pikiran yang sudah terlalu penuh ini, mendorongku harus mengatakannya.

Mungkin saja kursi itu ada penunggunya.

Yup! Sampai disitu saja. Aku phobia terhadap hal-hal seperti itu. Jadi kesimpulan final hanya sampai pada tanda titik (.) setelah kata 'penunggunya' itu saja.


5 menit berlalu....


Aku rasa kali ini sang logika sudah mati kutu. Kali ini sepertinya imajinasiku menang. Aku harus merayakan ini.

Kau phobia terhadap hal-hal seperti itu, jadi aku tidak akan membahasnya. Aku tidak yakin apakah kau akan tetap bisa melakukan kebiasaan normal sehari-harimu bila kujelaskan secara detil tentang argumentasiku

Ok! Kita hentikan saja. Keripik kentang di tanganku ini sudah memanggil-manggil untuk segera melahapnya. Entah kenapa aku jadi tidak berani menatap kursi taman itu lagi. Bulu romaku sedikit terkejut saat kembali mengigat kesimpulan final tadi. Kita hentikan saja. Perpaduan antara rasa khas kentang dan bumbu barbeque yang melapisi keripik ini harus benar-benar dinikmati. Kalau tidak, nanti mungkin akan membutuhkan 2 atau 3 bungkus lagi untuk memuaskan lidah dan cacing-cacing penghuni perutku.

Lihat selengkapnya