Kami bertemu tepat dua bulan setelah aku berada disini. Di Kota Angera. Waktu itu baru saja aku membuat tanda silang di kotak tanggal 05 Juli kalender meja. Sebelum sempat menutup spidol merah di tanganku, terdengar suara benda jatuh dari luar. Aku bangkit berjalan cepat membuka pintu. Tidak jauh dari depan kamar, seorang wanita berambut ikal pirang sebahu sedang memungut satu persatu buku yang berjatuhan di lantai dan memasukkannya kedalam kardus coklat di samping kirinya. Aku menghampiri, membantu memungut buku-buku bersampul formal itu.
“Ups...terimakasih. Maaf merepotkan,” ucapnya dengan wajah tersenyum ketika mengambil buku yang kusodorkan. Senyumku terkembang ramah. Dia tipe manusia supel, cepat akrab dnegan orang lain.
“Kau penghuni baru?” tanyaku kemudian setelah semua buku sudah tersusun rapi di dalam kardus.
“Yup, hari ini hari pertamaku,” ucapnya sambil membersihkan debu dari lutut celananya.
“Aku juga baru disini.”
Kami sama-sama tersenyum dan akhirnya saling berjabat tangan sambil saling mengucapkan nama. Pintu kamar kukunci dengan tergesa-gesa setelah menyetujui untuk membantu mengangkat barang-barangnya yang ada di lantai dasar.
Singkat cerita, beberapa hari kemudian kami menjadi sangat dekat. Aku tahu hampir semua hal tentangnya. Mulai dari alasan mengapa dia mengambil jurusan hukum di universitas negeri terbaik di kota ini, sampai alasan mengapa dia memutuskan untuk pergi dari rumahnya, dan memilih untuk hidup mandiri sama seperti keputusanku. Hanya saja alasan kami berbeda. Aku bahkan tahu kebiasaannya yang tidak suka memakai deodorant dan dia tidak malu membicarakannya padaku.
Kedekatan itu seperti oase di tengah padang pasir. Selama dua bulan di sini, aku belum mendapatkan seseorang seperti dia yang bisa diajak berbincang akrab sampai larut malam. Mulai dari membahas tentang pria yang sedang kusukai sampai keadaan politik di negara ini. Dan itu adalah sesuatu hal yang membuatku heran.
Kenapa? Sekali lagi kutekankan, karena aku tidak menyangka akan bisa mendapatkan teman di lingkungan tempat tinggalku ini. Dari awal kedatanganku ke gedung flat ini, aku sudah menggambarkan di otakku bahwa akan sangat susah mendapatkan teman di lingkungan yang sangat sepi, dingin dan terkesan individualistis. Dimana tidak ada sapaan hangat atau senyum sekedar yang terlihat saat sedang berpapasan dengan penghuni lain. Gambaran itu muncul ketika baru saja menapakkan dua langkah di anak tangga menuju lantai kamar tempatku tinggal.
Sangat berbeda seperti saat di kota tempatku tinggal dulu. Slora. Walau pun tingkat kelengkapan fasilitasnya tidak selengkap kota ini, bahkan bisa dibilang sangat jauh di bawahnya, tapi di sana setiap orang tidak segan untuk saling menyapa atau bahkan tidak pelit untuk menunjukkan lengkungan indah di bibir mereka pada orang lain. Di sana senyum adalah sesuatu yang sangat melimpah dan mudah untuk ditemukan. Bukan barang mahal dan langka. Di sini semua orang seperti asyik dengan dunianya saja. Seperti dunia ini hanyalah jalanan kosong dan penghuninya hanyalah pohon-pohon dan tiang listrik di pinggiran. Seperti jalan aspal yang membelah gurun pasir, sangat sepi dan hening. Hanya ada angin yang bersiul pelan menjadi soundtrack untuk perbedaan yang sangat mencolok itu.
Dulu aku pernah hendak memberikan kue brownies buatan sendiri pada dua tetangga di kanan-kiri kamar. Sudah menjadi kebiasaan di Slora saat ada orang yang baru saja pindah ke lingkungan kita, minimal dia memberikan tanda yang hangat untuk dua tetangga di kedua sisi tempat tinggalnya. Salah satunya dengan cara memberikan makanan atau sesuatu yang lain, yang sekiranya bisa menjadi titik awal untuk memulai perkenalan. Setelah itu nantinya akan dilanjutkan menjadi hubungan tetangga yang saling menghargai.
Hati kecil ini sebenarnya sudah memberikan sinyal yang kurang bagus atas ide brownies hangat. Wajah-wajah para penghuni yang sempat berpapasan jadi alasan kuat bahwa apa yang akan kulakukan akan berujung pada kecewa.
Tanganku mulai mengetuk pintu tetangga sebelah kiri. Well, sangat jauh melampaui dugaanku, yang menyambut bukanlah wajah yang antusias, tetapi wajah yang seakan-akan berbisik bahwa ketukan pintu oleh tangan kananku itu adalah salah satu kesalahan fatal.
“Ada apa?” tanya suara berat monoton dengan wajah tanpa ekspresi, dari pria gemuk berjenggot dan bertato dari ujung tangan sampai ujung kaki buat bulu kudukku merinding.
Aku baru mengeluarkan satu huruf dari mulut ketika dia dengan kasar mengambil kue yang sedang kupegang. Tanpa mengucapkan apa punlagi dia lalu menutup pintu kamar dengan kasar pula.
Aku terdiam.
Kaku.
Dengan langkah pelan seperti takut bila suara kaki ini akan membuat pria itu keluar dari kamarnya lagi, aku pulang kamarku. Sebelum menutup pintu, kusempatkan memandang pintu kamar tetangga sebelah kanan. Kutelan ludah gemetar demi membayangkan akan seperti apa nanti penghuninya. Apakah akan berakhir sama dengan pria bertato tadi?. Tidak kusangka menyapa tetangga akan jadi cobaan seberat ini. Tidak kusangka hal yang dulu biasa kulakukan dan bukan sesuatu yang rumit akan berubah sebaliknya. Jadi hal terkonyol yang buatku bimbang. Sebegitu rumitnyakah untuk jadi 'seperti biasanya' di kota ini?
“Menurutku kau perlu beradaptasi,” ucap Nala sambil membuka kaleng soda yang baru saja kami beli.
Suara perpaduan antara udara dan cairan minuman soda yang membentuk buih putih seakan menggambarkan suara hatiku yang tertusuk dengan kata-katanya. Aku bercerita semua keluh kesahku padanya saat kami pulang dari minimarket membeli beberapa perlengkapan bulanan.
“Apa aku kurang beradaptasi? Kurang apa lagi? Itu salah satu cara untuk beradaptasi yang baik dan hangat. Sangat terbuka dan selalu bisa jadi pijakan pertama yang sukses untuk memulai hubungan tetangga.”